Ada Apa dengan Pernikahan Dini?

Young Marriage
Sumber :
  • vstory

VIVA – Fenomena pernikahan dini bukan lagi hal asing bagi  kebanyakan negara berkembang seperti Indonesia. Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah.  

Pemkot Tangsel Raih Opini WTP 12 Kali Berturut, Benyamin: Kami Selalu Bertekad Pertahankannya

Pernikahan dini juga bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, khususya di daerah Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang terjadi pada zaman dulu, bahwa mbah buyut kita sudah banyak yang menikahi gadis di bawah umur.

Bahkan pernikahan di usia “matang” akan menimbulkan perspektif buruk di mata masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, image masyarakat justru mengalami perubahan.

Pemkab OKU Timur Sabet Opini WTP ke-12, Bupati Lanosin: Alhamdulillah

Arus globalisasi yang terus berkembang mengubah cara pandang masyarakat pada umumnya, bahkan bagi perempuan yang menikah di usia belia, dianggap sebagai hal yang tabu.

Lebih jauh lagi, hal ini dianggap menghancurkan masa depan perempuan dan menghambat kreativiasnya serta mencegah perempuan untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Dalam UU perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal perkawinan seseorang adalah berusia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.

Akan tetapi pada kenyataanya semakin banyak pernikahan yang berlangsung di kalangan anak di bawah umur, khususnya anak perempuan. Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia terutama di daerah pedesaan.

Di sisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar beberapa faktor, salah satunya faktor ekonomi yang mendesak (kemiskinan).

Banyak orang tua dan keluarga miskin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anaknya masih di bawah umur, akan mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur.

Jika kita perhatikan mayoritas kasus pernikahan dini ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah, sulitnya akses pendidikan dan juga minimnya perhatian orang tua terhadap pentingnya pendidikan menjadi penunjang utama terjadinya hal tersebut.

Jika dilihat dari segi sosiologis, pernikahan memang merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Dan oleh karena itu banyak orang tua yang mengabaikan faktor negatif dari pernikahan dini.

Selain faktor tradisi dan rendahnya pendidikan, faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan usia dini ialah pergaulan yang terlewat bebas yang berdampak pada maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Perilaku ini terjadi karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang saling berkesinambungan. Faktor eksternal itu bisa berupa pengaruh film, teman persekawanan, imitasi dari tokoh-tokoh idola, dsb. Kemudian faktor internal berupa lemahnya pengetahuan seks sejak dini dan kurangnya pemahaman agama.

Meskipun kasus pernikahan dini menjadi permasalahan serius yang kini dihadapi bangsa ini, bukan berarti tidak ada solusi untuk mengatasinya. Ada beberapa solusi yang bisa diambil untuk mengatasi masalah pernikahan dini ini.

Pertama, sebaiknya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah tentu harus melakukan perbaikan pada perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah harus mengambil peran dengan merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini sudah ketinggalan zaman dan akan bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk ikut menghapus praktek pernikahan dini pada 2030, seperti yang telah disepakati dalam Sustainable Development Goals. Mau tak mau, UU itu harus direvisi segera.

Kedua, masyarakat harus paham dampak negatif dari pernikahan dini. Masyarakat harus memahami bahwa pernikahan dini hanya akan memupus semua impian para remaja, terutama yang dikorbankan adalah perempuan.

Para orang tua harus sadar bahwa pendidikan itu sangat penting. Kalau masalahnya adalah karena keadaan ekonomi yang tidak mencukupi atau tidak adanya dana untuk pendidikan, bukankah pemerintah justru menggiatkan dana-dana bantuan pendidikan?

Ada banyak contohnya. Seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Jakarta Pintar. Belum lagi berbagai beasiswa dan fasilitas yang didapat masyarakat yang memiliki Jamkesda.

Pada umumnya pernikahan dini terjadi karena ada dorongan faktor-faktor eksternal pelaku, bukan atas dasar keinginan sendiri. Hal ini bisa di lihat dari faktor-faktor yang memicu pernikahan dini meliputi; alasan moral, sosial budaya, motivasi ekonomi, pemahaman keagamaan yang tidak tepat, dan kurangnya pembinaan tentang pernikahan oleh lembaga terkait.

Untuk memberikan perspektif kepada masyarakat tentang akibat serta bahaya pernikahan dini, kita bisa terjun langsung menuju kampung-kampung (pedesaan) yang memiliki angka penikahan dini cukup tinggi berdasarkan survey yang telah dilakukan.

Mengadakan sosialisasi kepada para orangtua dan remaja tentang pentingnya pendidikan, tentang pentingnya mengerti kesehatan reproduksi remaja.

Memberikan pandangan tentang pentingnya pendidikan bagi remaja, karena itu akan berpengaruh pada generasi penerusnya. Belajar memang tak memandang usia.

Ketika seorang remaja "dipaksa" untuk berkeluarga dan kemudian punya anak, fokusnya beralih pada upaya merawat keluarga dan anak-anaknya. Perempuan masa kini sudah bisa berperan banyak di segala aspek kehidupan.

Termasuk pada pembangunan, yang membutuhkan perempuan--perempuan berpendidikan dan berwawasan luas. Tentang kesehatan reproduksi, sangat penting untuk diketahui oleh para remaja utamanya perempuan agar mereka tahu dan bisa menjaga kesehatan reproduksinya, sehingga dapat menghasilkan keturunan yang sehat dan berkualitas.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.