Vaksinasi Covid-19, Ikhtiar Mencapai Kekebalan Komunitas

Booth Foto Pasca Vaksinasi Tahap II LIPI. Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber :
  • vstory

VIVA – Satu demi satu rakyat Indonesia divaksinasi. Ada yang baru mulai vaksin pertama, ada pula yang telah selesai. Dan seperti biasa, bukti sudah divaksin pun bertebaran di dinding akun media sosial mereka.

Momen vaksinasi kali ini, instansi menyiapkan khusus template bahkan booth khusus berfoto pasca vaksinasi. Demikian pula instansi saya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada vaksinasi pertama (19/03), sejumlah 1692 sivitas memenuhi syarat divaksinasi.

Kami pun mendapatkan langsung kartu vaksinasi. Tak lama kemudian sms masuk dari nomor 1199 yang mengirimkan tiket dan jadwal vaksin kedua. Satu lagi, sertifikat digital vaksinasi pertama ini kami dapatkan pula setelah mengakses sebuah link dari pedulilindungi.id.

Pemberian sertifikat vaksinasi tersebut sesuai yang diwacanakan Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin bulan Januari lalu. Dan memang beberapa rekan saya beda instansi yang telah selesai mendapatkan vaksinasi kedua telah menunjukkan sertifikat keduanya tersebut. Sertifikat diposting di grup pertemanan. “Tenang,” kata mereka.

Namun dibalik ‘ketenangan’, menurut saya perlu diingat juga bahwa pasca vaksinasi belum berarti dapat menjalani hidup dengan aman tanpa masker. Faktanya masih banyak masyarakat yang lalai memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas (5M)  dan disiplin menjalan tracing, testing, dan treatment (3T).

Artinya sertifikat vaksinasi sebagai bukti sudah divaksin, memang memberikan benteng bagi penerima vaksin, namun bukan berarti seseorang terbebas dari potensi tertular atau menularkan Covid-19.

Begini penjelasan sederhananya sesuai referensi Kemenkes dan WHO. Jika kita sudah divaksin (sampai selesai vaksin kedua, ya), vaksin akan membentuk antibodi khusus bagi penerima vaksin menghadapi virus di dalam tubuh.

Apabila kita dimasuki virus dan terjadilah infeksi, maka antibodi yang sudah terbentuk karena sudah divaksin, siap membentengi tubuh bahkan membunuh sang virus. Kuantitas virus pun otomatis akan cepat berkurang. Begitu pula resiko penularan (viral shedding) dan durasi waktu penularan akan berkurang. Risiko imun yang ditanggung penerima vaksin akan lebih ringan, misalnya gejala sakit ringan-ringan saja. Jadi Saudara, vaksin akan melindungi seseorang dari sakit berat namun vaksin tidak dapat melindungi diri kita dari infeksi, walaupun risiko menulari sangat berkurang.

Perlu dipahami pula, perlu dibedakan pengertian infeksi dan sakit dalam konteks virus-virusan ini. Infeksi adalah masuknya virus ke dalam tubuh sedangkan sakit adalah interaksi virus dengan sistem imun tubuh. Manifestasinya adalah gejala ringan sampai dengan berat.

Sementara untuk konteks vaksinasi, bagaimana efektivitasnya terhadap tubuh? Sependek yang saya ketahui, efektifitas vaksin sangat dipengaruhi oleh faktor inang (umur, komorbid, paparan sebelumnya, dan waktu vaksinasi), karakteristik vaksin dan strain virus. Perlu pula diketahui, sang virus yang ada dalam tubuh kita menjaga kelangsungan hidupnya atau daya survivalnya maka ia harus bermutasi.

Lalu bagaimana hidup kita setelah divaksinasi? Apakah aman-aman saja? Ya, bisa jadi aman secara administratif dengan bukti Sertifikat Vaksinasi (banyak teman yang sudah mencetak sertifikasi digitalnya berbentuk kartu yang dapat masuk di dompet). Namun kembali lagi kita pahami makna efikasi vaksin, contoh Vaksin Sinovac yang disiapkan untuk rakyat Indonesia adalah 65%. Artinya, dari 100 orang yang divaksin, maka ada 65 orang yang terlindungi, namun ada kemungkinan 35 orang yang bisa jadi terpapar dengan gejala ringan, sedang, sampai dengan berat.

Ini yang menjadi alasan harus mengevaluasi titer antibodi (antibodi kuantitatif) setelah vaksin atau  penyintas/terinfeksi virus menjadi penting untuk mengetahui respons imun kita. Barangkali Saudara masih ingat, dahulu vaksin influenza akibat pandemi influenza (H1N1), hinga kini masih disarankan kita dapatkan, setidaknya setahun sekali.

Saudara, saat ini kita juga menemui banyak warga dunia yang masih kesulitan mendapatkan vaksin. Kok bisa? Perlu diketahui pula, jumlah vaksin masih terbatas di seluruh dunia. Beruntung kita sudah memulai dengan lebih 3,5 juta warga bangsa. Untuk itu sungguh-sungguh ketersediaan vaksin dan metode vaksinasi harus kita selaraskan. Jangan sampai terjadi ketidaksinambungan antara vaksinasi pertama dan kedua dari sisi waktu.

Bagi Satgas Covid-19 instansi maupun Satgas Perumahan jangan bosan memantau efek vaksinasi dari warga, dan tak surut langkah dengan protap komunitas tervaksin priode awal ini. Ambil kesempatan pertama sedapat mungkin bila vaksin tersedia. Tak perlu pilih-pilih merk dan produk mana untuk dapat kita terima. Kita paham soal efikasi, harusnya kita juga paham soal mana yang lebih banyak mengalami proses uji klinis dan mewakili mayoritas ras manusia di dunia.

Saudara, saat menulis artikel ini, saya baru saja selesai divaksin tahap kedua hari pertama bersama 894 sivitas LIPI lainnya, pada Senin (05/04). Sisanya esok hari. Pada titik ini, saya fikir kita patut bersyukur, bahwa mereka yang semula menentang vaksin karena berbagai alasan, kini cenderung untuk berada di posisi paling depan antrian ingin divaksin. Tanpa peduli atas kegaduhan yang pernah mereka buat. Sebagai warga bangsa, kita cukup tersenyum saja.

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu
Suntik vaksin

WHO: Imunisasi Global Menyelamatkan 154 Juta Jiwa Selama 50 Tahun Terakhir

Vaksin merupakan salah satu penemuan yang paling ampuh dalam mencegah sebuah penyakit yang selama ini ditakuti. Dan imunisasi global juga telah menyelamatkan154 juta jiwa

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.