Eksistensi Reseller dan Pergerakannya Melalui E-Commerce
- vstory
VIVA – Kepraktisan menjadi salah satu bentuk keunggulan E-Commerce dalam menjual produk kepada para konsumen. Namun ternyata, terdapat kemungkinan kerugian yang akan diterima oleh para konsumen, salah satunya merupakan tidak orisinilnya suatu produk yang akan diterima.
Contohnya berupa seorang konsumen “Lazada”, ia tertarik kepada suatu ponsel yang terdapat pada tayangan iklan, namun ternyata produk yang ia dapatkan berupa produk palsu. Konsumen yang menerima kejadian tersebut lalu meminta tanggung jawab berupa ganti rugi. Hal ini menunjukkan E-commerce harus menanggung konsekuensi dengan berbentuk hukum atas perilakunya jika tidak memberikan jaminan berupa tanggung jawab penuh pada produk yang dijual sehingga reseller menjual barang yang tidak orisinil.
Penjualan produk palsu menciptakan masalah baru dikarenakan sistem kepraktisan yang menjadi salah satu bentuk keunggulan E-Commerce dinilai masih kurang memiliki tanggung jawab. Sebagai contoh, terjadinya transaksi jual beli masker sensi pada Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2020, di mana penjual justru mengirimkan paket berupa satu kotak berisi buku tulis dan handuk bayi bekas dengan tampilan rapi.
Contoh perilaku seperti ini membuat banyak pembeli di E-Commerce mengalami penipuan dan seringkali mendapatkan pelaku tidak bertanggung jawab. Hal ini akan menimbulkan keresahan bagi banyak konsumen dan mengurangi minat mereka dalam berbelanja di E-Commerce. Dalam hal ini, sudah seharusnya pemerintah ikut mengambil tindakan untuk segera mengatasi bertambahnya kasus yang serupa.
Sebenarnya, keresahan konsumen terhadap perilaku E-Commerce yang dinilai kurang bertanggung jawab membuat pemerintah pada akhirnya merumuskan undang-undang sebagai bentuk wujud perlindungan hukum terhadap konsumen. Mendukung hal ini, Edmon Makarim dalam salah satu tulisannya juga menyatakan bahwa konsumen memang membutuhkan perlindungan hukum berupa garansi atau penukaran barang jika barang yang diterima tidak sesuai dengan yang dipesan.
Pada akhirnya,keresahan konsumen pun dapat diredam dengan adanya UU ITE Pasal 9 dan 10 ayat 1. Undang-undang tersebut dengan jelas mengatur dengan mewajibkan seseorang untuk memaparkan identitasnya secara jelas sebagai pelaku usaha dan harus mempertanggungjawabkan segala kerugian akibat transaksi.
Hal ini lalu didukung dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen memberikan penawaran kedudukan yang kuat kepada konsumen yaitu dengan melindungi hak-haknya. Pemenuhan ini menjadi salah satu hal yang membuat hilangnya rasa resah pada masyarakat, sebab undang-undang telah memenuhi salah satu hak dasar konsumen yaitu hak keamanan.
Keberadaan undang-undang untuk mengatasi keresahan konsumen memiliki dampak pada eksistensi reseller di E-Commerce. Reseller memiliki tanggung jawab di mana para reseller harus melampirkan identitasnya dengan jelas untuk memenuhi kepercayaan para pembeli. Hal ini juga dilengkapi dengan reseller yang juga harus memiliki otoritas sertifikasi. Bentuk lain atas tanggung jawab kepada konsumen dengan menggunakan sistem garansi berupa jaminan bahwa produk yang diterima sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Jika reseller tidak segera memenuhi tanggung jawabnya, hal tersebut akan berdampak terhadap eksistensinya di E-Commerce karena rusaknya kepercayaan konsumen sehingga membuat penjualan menurun.
Dengan demikian, reseller ikut mengambil tanggung jawab dalam merespons keresahan yang kerap kali dialami oleh konsumen di E-Commerce. Tindakan tanggung jawab tersebut berupa memperjelas identitas penjual serta memiliki otoritas sertifikasi.
Pemerintah juga ikut mengambil tindakan dalam mengatasi hal ini dengan menciptakan undang-undang baru. Undang-undang yang dibuat pada akhirnya memberi keamanan dan kenyamanan bagi pembeli di E-Commerce. Kekecewaan pembeli terhadap E-Commerce pun pada akhirnya dapat diredam sehingga eksistensi reseller di E-Commerce dapat terus muncul.