Koalisi El Nino dan Monsun Asia dan Dampaknya pada Pertanian

Tanaman di pinggir bukit yang terancam longsor akibat hujan deras yang mendadak terjadi
Sumber :
  • vstory

VIVA - Dampak kekeringan (fenomena El Nino) yang masih berlanjut dan diikuti dengan dampak Monsun Asia yang cenderung membuat curah hujan tinggi, bergabung bagaikan koalisi yang kurang menguntungkan bagi cuaca dan iklim Indonesia.

Bale by BTN Dirilis, Intip Kelebihannya

Pergeseran musim dengan curah hujan yang tidak beraturan dan fluktuasi hujan yang tidak menentu.  Paling terdampak langsung hal tersebut tentunya pada berkurangnya hasil pertanian.

El Nino adalah fenomena saat suhu di muka laut Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur memanas, sementara Monsun Asia adalah angin musim yang bersifat periodik yang biasanya terjadi di Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia.  Hal ini memicu kawasan Asia relatif menjadi lebih dingin dari tekanan maksimum, sementara wilayah bagian selatan mengalami musim panas.

Kronologi Penemuan Satu keluarga Tewas di Cirendeu Ciputat Timur

Perkiraan BMKG terkait keberadaan El Nino, masih akan berlanjut sampai Maret atau April 2024. Dampaknya berupa pengurangan curah hujan tahunan atau annual rainfall menjadi tidak merata. Sementara kemunculan Monsun Asia di musim hujan memicu curah hujan menjadi tinggi. Monsun Asia diprakirakan hingga April 2024.

Dengan demikian terjadi perubahan cuaca yang tidak pasti dan sulit ditebak dan curah hujan yang ekstrem. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi mereka yang bergerak di pertanian. Jika pada dekade sebelumnya, pergantian musim dapat diantisipasi dengan menghitung bulan setiap tahunnya, kini situasinya hampir berubah secara total. Pola tanam menjadi kurang beraturan dan kurang perhitungan sehingga hasil pertaniannya ditengarai menjadi menurun.

Terpopuler: Siswi SMP Ditemukan Tewas dalam Karung, Aksi Lurah Cabul Terekam CCTV

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa selama periode kekeringan (September-Desember), luas panen dan produksi padi tahun 2023 diperkirakan mengalami penurunan yang relatif besar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal yang sama diduga juga terjadi di awal tahun 2024. Penurunan terjadi di sebagian besar wilayah sentra produksi. Potensi luas panen dan produksi padi dan jagung bulan Oktober-Desember menurun sekitar 13-15 persen dibanding tahun sebelumnya.

Dampak akibat koalisi El Nino dan Monsun Asia  yang paling signifikan memang terasa di sektor pertanian. Penurunan kualitas, kesuburan, dan daya dukung lahan mengakibatkan penurunan produktivitas hasil pertanian. Keterbatasan air yang semakin memburuk juga menjadi faktor utama dalam penurunan produksi pertanian. Semua sektor kehidupan merasakan dampak perubahan iklim ini, tetapi sektor pertanian menjadi yang paling terpukul.Fenomena El Nino dan Monsun Asia turut berperan dalam mengubah siklus iklim, yang secara otomatis mengakibatkan pergeseran jadwal penanaman berbagai komoditas pertanian dan meningkatkan risiko gagal panen (puso). Bial hujan berlebih juga memungkinkan terjadinya banjir atau tanah longsor, sehingga tanaman juga tidak memungkinkan untuk dipertahankan.

Terdapat beragam hal yang mengakibatkan kualitas tanaman menurun, bahkan menjadi rusak. Berikut adalah faktor-faktor dari perubahan iklim pada tanaman: Faktor utama adalah tingkat kandungan karbondioksida yang sangat tinggi. Umumnya, karbondioksida mampu mendukung tanaman untuk tumbuh. Namun, faktor seperti perubahan suhu, nutrisi, dan ozon menghambat potensi pertumbuhan tanaman.

Kelebihan karbondioksida juga dinilai kurang baik bagi tanaman karena mengurangi konsentrasi protein dan mineral penting. Misalnya pada tanaman kedelai dan padi. Mengutip dari climatechange.chicago.gov, juga terdapat faktor lain seperti peningkatan suhu di suatu tempat. Beberapa daerah mungkin memiliki tingkat pemanasan yang ideal. Sebaliknya, jika suatu daerah memiliki suhu yang sangat tinggi, maka hasilnya pun ikut menurun.

Perubahan suhu dan curah hujan yang ekstrem pun menjadi faktor yang membuat tanaman susah tumbuh. Apalagi ketika cuaca ekstrem menyebabkan banjir di kawasan potensi tempat panen yang terakumulasi, sehingga  bisa berujung ke krisis pangan.

Perubahan yang semakin meluas dalam iklim dan cuaca diyakini banyak disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang semakin parah. Aktivitas seperti penebangan hutan yang tidak terkendali, penggunaan berlebihan gas freon dan pestisida kimia, pencemaran udara dari pabrik dan kendaraan bermotor, penggunaan berlebihan plastik dan bahan sulit terurai di tanah, serta tindakan atau perilaku yang tidak memperhatikan lingkungan, baik dengan sengaja maupun tidak.

Untuk mencapai target produksi tertentu, pemerintah perlu mengurangi dampak perubahan iklim dengan memperketat pengawasan dan pemeliharaan kawasan hutan. Selain itu juga bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan material anorganik seperti plastik dan styrofoam, meminimalisasi penggunaan pestisida, dan mempercepat adopsi teknologi pertanian. Hanya saja juga perlu ditekankan pada perlunya partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki kualitas lingkungan, karena tanpa keterlibatan masyarakat, upaya penyelamatan lingkungan akan sulit berhasil.

Masyarakat agar dapat melakukan antisipasi dini, terutama dalam pengaturan jadwal tanam dan efisiensi penggunaan air dalam usaha pertanian. Petani diharapkan dapat cerdas dalam membaca kondisi alam dan memanfaatkan prediksi iklim serta peringatan dini dari otoritas BMKG untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim global seminimal mungkin. Dengan demikian dampak koalisi El Nino dan Monsun Asia dapat diminimalkan, sehingga didapatkan produksi pertanian yang baik. (Suparna Parwodiwiyono, Statistisi Madya BPS Provinsi DIY)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.