AJI Jakarta Kecam Pengusiran Wartawan di Simposium Anti PKI

Aksi tolak kekerasan terhadap wartawan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Bobby Andalan

VIVA.co.id – Pada acara Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain di Balai Kartini, Jakarta, Kamis 2 Juni 2016, terjadi insiden pengusiran terhadap seorang wartawan oleh salah satu panitia penyelenggara acara.

Motif Pengeroyokan Wartawan di Madina karena Beritakan Ketua OKP

Menanggapi kejadian itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, mengecam keras tindakan sejumlah orang yang mengintimidasi dan mengusir jurnalis Rappler.com, Febriana Firdaus.

Bagi AJI, tindakan pengusiran yang dilakukan beberapa orang beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Bela Negara tersebut tidak bisa ditoleransi, karena mengancam kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi. Padahal, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

Seorang Wartawan AS Ditembak Mati Tentara Rusia di Ukraina

“Kami mengecam keras karena tindakan mereka mengintimidasi dan mengusir jurnalis yang sedang menjalankan tugas jurnalistik adalah perbuatan melawan hukum. Tindakan mereka melanggar Undang-Undang Pers. Bila hari ini Febriana diusir, bukan tidak mungkin ke depan akan menimpa jurnalis yang lain. Tindakan seperti itu mengancam profesi jurnalis secara umum,” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Jumat, 3 Juni 2016.

Menurutnya, bila ada keberatan dengan suatu berita silakan ajukan keberatan ke redaksi atau adukan ke Dewan Pers. Itu cara yang sah yang diatur undang-undang di negara demokrasi.

Polisi Tangkap 4 Pelaku Pengeroyokan Wartawan di Sumut

dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang datang ke Balai Kartini karena keberatan logo organisasi mereka dicatut oleh panitia simposium. 

Di tengah wawancara, tiba-tiba seorang laki-laki bersurban putih beratribut FPI, mendatangi Febriana dan menghardik. “Ini Febriana. Ini dia yang kerap bikin berita ngawur.” 

Tuduhan ini merujuk pada berita yang dimuat Rappler pada hari pertama soal simposium tersebut, Rabu, 1 Juni 2016. 

Lalu beberapa teman laki-laki bersurban dan beratribut Gerakan Bela Negara mendatangi Febriana. Mereka menceramahi jurnalis ini soal bela negara. Seorang panitia dari Gerakan Bela Negara yang diwawancarai Febriana melarangnya menulis soal pencatutan logo PMKRI. Dengan nada mengancam, panitia itu menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan mengatakan, “Anda sudah difoto dan sudah direkam. Kalau berita itu dimuat, Anda bisa ditangkap.”

Sejumlah orang bersurban datang lagi dan memarahi Febriana karena tidak suka dengan berita tentang mereka yang dimuat oleh Rappler. Intimidasi itu berlanjut hingga mereka mengusir Febriana dari Balai Kartini, karena tak ingin jurnalis ini meliput simposium tersebut.

Menurut AJI Jakarta, tindakan mereka mengintimidasi dan mengusir jurnalis yang bekerja untuk publik itu telah melecehkan profesi jurnalis. Sebab, pers dan jurnalis berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pers, menurut Undang-undang Pers, juga berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

“Bila jurnalis diintimidasi dan diusir dari tempat liputan itu sama saja dengan menghalangi publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat dari sebuah peristiwa,” kata Nurhasim.

AJI menegaskan, bahwa pekerjaan jurnalistik mulai dari peliputan, sampai pemuatan atau penyiaran berita dilindungi Undang-Undang Pers.

Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, tindakan mereka yang menghalangi-halangi tugas jurnalis bisa dipidanakan. Pasal 18 menyatakan setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi tugas pers terancam dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda Rp 500 juta. “Jadi jangan mengintimidasi dan mengusir jurnalis yang sedang menjalankan tugas jurnalistik,” kata Erick.

AJI Jakarta menyarankan kepada orang atau kelompok yang keberatan dengan suatu berita lebih baik menggunakan hak jawab dan hak koreksi. Pers wajib memuat hak jawab dan koreksi secepatnya. “Bila masih tidak terima bisa adukan ke Dewan Pers. Pakailah cara-cara yang beradab,” ujar Erick.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya