Membaca Proyek 'Perang' di Tanah Papua

Ilustrasi kelompok bersenjata yang bermarkas di Lanny Jaya, Papua.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Banjir Ambarita

VIVA – "Mulai sekarang kami nyatakan perang revolusi total dari Sorong hingga Merauke," ujar Puron Wenda pada akhir Mei 2015. Pimpinan Organisasi Papua Merdeka di Kabupaten Lanny Jaya ini mengklaim telah mengkonsolidasikan seluruh anggotanya yang terpencar di beberapa wilayah.

Aksi Teror KKB di Papua 2022 Turun, Korban TNI-Polri dan Warga Sipil Bertambah

Mimpinya cuma satu, yakni menjadikan Papua negara berdaulat. Seperti yang telah digariskan sejak 1965, ketika OPM digagas pertama kali. Sekaligus sebagai tindak lanjut dari ide Belanda yang sempat tertunda kala itu, yakni membentuk negara Papua Barat.

Dengan dibumbui praktik penindasan militer dan ketimpangan serta kemiskinan yang menekuk Papua berpuluh tahun, akhirnya semangat keluar dari Indonesia makin mengkristal.

Pratu Herianto, Korban Kebiadaban Teroris OPM Diterbangkan ke Timika

Ya, singkatnya konflik di Papua itu bukan barang baru. Ia meruyak bak kudis gatal, semakin digaruk semakin banyak. Hanya saja memang, ada yang terlihat terbuka dan ada yang bersembunyi di sela-sela.

Proyek 'Perang'

Gerombolan KST Berulah Kembali, Bakar Honai Milik Masyarakat di Papua

Prajurit TNI Kembali Dari Papua
Berpuluh tahun, jejak 'pembantaian' para warga Papua meninggalkan kisah kelam di Tanah Air. Serangkaian aksi militer serta kekerasan dengan 'dalih' mempertahankan Papua sebagai satu kesatuan Indonesia menjadi alasan di atas segalanya.

Karena itu, seumur itu juga konflik Papua bertahan dan meninggalkan 'dendam' kesumat di setiap orang Papua. Beberapa kali ganti presiden pun tak memberi angin baik untuk orang di Papua.

Hingga setidaknya di era Presiden Joko Widodo, sebuah harapan baru mulai muncul. Lewat proyek Kawasan Timur Indonesia (KTI), Jokowi mencoba mengkatrol kemerataan di Papua dengan pulau lain di Indonesia yang sudah melompat jauh.

Jalan, jembatan, pembangkit listrik, kebijakan BBM satu harga, kereta api, pasar, bandara dan lain sebagainya digelontorkan untuk Papua. Efeknya pun mulai terasa perlahan. Setidaknya laporan Badan Pusat Statistik (2015), peningkatan ekonomi di Papua meningkat hingga 8 persen.

"Ini kan kaya telur sama ayam, dibangun dulu jalannya terus ekonomi tumbuh atau kita tunggu ekonomi tumbuh baru dibangun jalan," kata Jokowi, Jumat, 17 November 2017.

Kondisi jalur darat yang menghubungkan antara Wamena ke Mumugu di Papua

Namun demikian, di balik angin sejuk itu. Apa yang menjadi mimpi Jokowi untuk Papua tetap tak lepas dari kritik. Utamanya soal penyelesaian pelanggaran HAM masa silam.

Belum ditambah dengan keputusan Jokowi yang kemudian menambah pasukan militer di tanah Papua lewat pembentukan Komando Militer XVII/Kasuari di ibu kota Papua Barat, Manokwari.

Kini, setidaknya 5.000 personel TNI pun disempaikan di markas anyar militer setelah Kodam XVII/Cendrawasih itu. Karena itu jua kini di Papua akhirnya menjadi 'sarang besar' bagi pasukan militer Indonesia.

Seketika itu juga berembus kabar bahwa pendekatan militeristik Papua faktanya memang tak bisa dilepaskan meski Jokowi memolesnya lewat proyek infrastruktur yang tak sedikit.

"Pemerintah pusat masih menilai Papua sebagai daerah operasi militer," kata Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.

Natalius pernah mendapatkan laporan, di beberapa wilayah khususnya dataran tinggi Papua, kerap terjadi penyerangan yang dilakukan oleh aparat keamanan. "Dalihnya aksi balas," katanya.

Atas itu, ia mengingatkan agar pola pendekatan keamanan di Papua mesti diakhiri. Selain Papua bukan sebagai 'proyek perang' atau daerah operasi seperti yang pernah dialami Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Kelompok Teroris di Poso lewat Operasi Tinombala, penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS), dan lainnya.

Hal itu juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya tragedi kemanusiaan. "Presiden silih berganti, tapi pendekatan kemanan terhadap Papua tidak dirubah, selama itu tidak diubah, Papua tidak akan berubah," katanya.

Karena itu, muncul saran agar jumlah aparat keamanan di tanah Papua harus dikurangi. Sebab dengan itu juga, persepsi bahwa pendekatan keamanan atau militeristik dapat diminimalisir.

"Harus dikaji ulang, khususnya di Komisi I DPR yang membidangi pertahanan. Seberapa besar tantangan di Papua sehingga membutuhkan kekuatan militer," ujar Direktur Amnesty International untuk Indonesia Usman Hamid, Selasa, 21 November 2017.

Eufemisme Kejahatan

Ilustrasi kelompok bersenjata di Papua.
Awal November 2017, setelah serangkaian aksi penembakan yang dilakukan kelompok OPM kepada warga sipil pendatang atau TNI-Polri.

Kodam XVII/Cendrawasih 'membocorkan' rencana operasi keamanan untuk wilayah Papua. Gagasannya, operasi ini akan dibuat seperti Poso saat perburuan kelompok teroris, Mujahidin Indonesia Barat, pimpinan Abu Wardah atau Santoso.

"Sama pola operasinya, nanti mungkin seperti di Sulawesi Tengah, di Poso. Akan seperti itu," ujar Panglima Daerah Militer XVII/Cendrawasih Mayor Jenderal TNI George Eldanus Supit, Kamis, 2 November 2017.

Di Poso, 'proyek perang' itu dinamai Operasi Tinombala, dan menempatkan Polri sebagai leading sector-nya. Jadi meski itu bersifat gabungan, suka tak suka pasukan 'tempur' TNI mesti tunduk di bawah koordinasi Kapolri.

Atas itu, ketika George menyebut akan ada operasi keamanan di Papua, terutama setelah banyaknya korban dari Brimob Polri yang menjadi korban. Maka sinyal operasi gagasan militer ini pun menguap ke permukaan.

Hingga kemudian mendadak tersiar kabar soal 'penyanderaan' 1.300 orang warga di Kampung Banti dan Kimbely Timika pada 7 November 2017. Dalam pengumuman polisi, aksi itu dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata.

Desa Banti

Tak disebut apakah itu OPM atau bukan. Polisi hanya memastikan bahwa mereka adalah kelompok kriminal. Atau dengan kata lain, maka penindakan itu menjadi ranahnya polisi.

Istilah baru berbau 'eufemisme' ini pun diserap publik lewat polisi. Sehingga disadari atau tidak, ada pesan bahwa apa yang terjadi saat ini di Papua adalah murni kejahatan umum, atau bukan kejahatan ideologis dan politik.

"Motifnya masalah ekonomi, ketidakpuasan. Kadang dibawa isu ke separatisme," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendefinisikan kejahatan kelompok yang menewaskan beberapa anggotanya di Papua itu pada Kamis, 9 November 2017.

Atas itu juga, Tito mengedepankan agar upaya persuasif menjadi prasyarat utama polisi untuk menindak. Meski memang tak menutup kemungkinan ada cara lain, namun Polri memang meyakinkan bahwa mereka bisa menangani itu.

"Ketika damai enggak bisa dilakukan, terpaksa upaya penegakan hukum dengan terukur kita lakukan," kata Tito.

Barisan Kopassus saat Perayaan HUT TNI ke-72

Namun demikian, setelah hampir dua pekan berjalan soal kabar 'penyanderaan' di kawasan tambang Tembagapura Timika. Secara mengejutkan pada Jumat, 17 November 2017, sejumlah pasukan TNI berkemampuan khusus disebut meringsek masuk ke wilayah yang disebut kandang OPM.

"TNI bergerak dengan senyap," ujar Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Sabtu, 18 November 2017.

Dilaporkan, dari operasi senyap itulah setidaknya 347 orang warga berhasil direlokasi dari dua kampung yang diisolasi oleh kelompok bersenjata.

Ratusan orang yang telah dievakuasi itu pun kemudian diserahkan ke pasukan gabungan dari Polri yang juga menuju ke lokasi. Sehingga, mereka akhirnya merelokasi warga yang mayoritas non-Papua itu ke Timika.

Asisten Operasi Polri Irjen Pol M Iriawan dan Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Umar yang memimpin pasukan akhirnya menjadi 'penyambut' warga untuk kemudian dikawal ke Timika Papua.

Atas keberhasilan itu kemudian Gatot Nurmantyo secara mengejutkan langsung terbang ke Papua. Di lokasi yang disebut markas OPM atau tempat dimana pasukan khusus TNI mengusir 'penyandera' warga, langsung digelar upacara kehormatan.

Sebanyak 57 orang pasukan TNI pun diberi anugerah kenaikan pangkat luar biasa oleh Gatot. Seketika juga pujian dan sanjungan meruah untuk keberhasilan TNI.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memberikan kenaikan pangkat luar biasa untuk pasukan TNI yang berhasil menguasai Kampung Banti dan Kimbely Papua.

Terutama di jejaring sosial. Persepsi bahwa TNI menjadi 'penakluk' pertama bersahut-sahutan dengan pasukan Polri yang menjadi penyambut warga korban sandera.

Ditambah lagi Tito Karnavian tak merayakan 'keberhasilan' anak buahnya di Papua seperti yang dilakukan Gatot. "Itu adalah operasi yang sukses," ujar Tito di Jakarta.

Ia tak merinci untuk siapa apresiasi itu. Namun secara diplomatis pernyataan itu ditujukan kepada keberhasila tidak adanya korban jiwa.

Meski begitu, Tito tetap menyematkan bahwa apa yang terjadi itu tetap tak lebih sebagai ulah kriminal biasa. Pengalamannya didapuk sebagai Kapolda Papua, membuat referensi Tito lebih kuat soal kejahatan itu.

Namun demikian, keyakinan Tito soal itu sepertinya tak membuahkan hasil. Di pucuk lembaga pemerintah yakni Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, apa yang terjadi di Papua dinilai lebih dari sebuah kejahatan biasa.

Menkopolhukam Wiranto didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan keterangan pers soal senjata api, Jumat (6/10/2017).

Penilaian itu juga sejalan dengan paradigma di DPR atau dengan kata lain seragam dengan yang ada di kepala Panglima TNI. Atas itu, muncul kesepakatan baru bahwa mereka yang di Papua dan kerap mengangkat senjata butuh penamaan baru agar ada keseragaman langkah penindakan.

"Kemarin banyak istilah, tapi sekarang sudah disatukan istilah menjadi Kelompok Kriminal Separatisme Bersenjata," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, di Jakarta, Senin 20 November 2017.

Pesan 'eufemisme' atau penyederhanaan kelompok kriminal oleh Polri yang sempat menjadi kata 'andalan' polisi akhirnya kini dibuat terang dengan menambah kata 'separatisme'.

Dengan itu, maka secara kelembagaan kini TNI pun bisa mengambil peran dalam penindakannya. Tak jelas bagaimana mungkin 'alotnya' pembahasan penambahan kata Separatisme itu.

Namun yang pasti, Wiranto telah memberi jalan tengah untuk Polri dan TNI dalam 'proyek perang' di tanah Papua.

Dalam konteks ini tentunya TNI juga bisa bertindak. Dan kita bersyukur sudah ada koordinasi yang sangat ketat baik pusat maupun daerah antara Kepolisian dan TNI," ujar Wiranto. "Dan kita lanjutkan operasi bersama ini," lanjut mantan Menteri Pertahanan itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya