72 Orang Tewas dalam Kerusuhan Mematikan di Afrika Selatan

Kerusuhan dan penjarahan terjadi di Johannesburg, Afrika Selatan.
Sumber :
  • Tangkapan layar video BBC

VIVA – Korban tewas dalam kerusuhan di Afrika Selatan telah meningkat menjadi 72 orang, dilaporkan BBC, Rabu 14 Juli 2021. Kerusuhan dan aksi protes melanda beberapa bagian negara itu setelah mantan Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma, dipenjara.

Korban termasuk 10 orang yang tewas terinjak-injak saat penjarahan pada Senin malam 12 Juli 2021 di sebuah pusat perbelanjaan di Soweto.

Lebih dari 200 pusat perbelanjaan telah dijarah pada Senin sore, kantor berita Bloomberg melaporkan, mengutip CEO Business Leadership Afrika Selatan, Busisiwe Mavuso.

Beberapa pusat perbelanjaan di Soweto, kota terbesar di Afrika Selatan yang pernah menjadi rumah bagi Nelson Mandela, telah dirampok habis-habisan. Mesin-mesin ATM dibobol. Restoran, toko yang menjual alkohol, dan toko pakaian semuanya hancur dijarah.

Militer kini telah dikerahkan untuk membantu polisi yang kewalahan mengatasi kerusuhan yang terjadi sejak pekan lalu. Tentara bekerja sama dengan polisi berhasil menangkap para perusuh. Secara total hampir 800 orang telah ditangkap.

Polisi Afrika Selatan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah mengidentifikasi 12 orang yang diduga memprovokasi kerusuhan, dan total 1.234 orang telah ditangkap.

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menyebutnya kerusuhan tersebut sebagai  salah satu kekerasan terburuk yang disaksikan di Afrika Selatan sejak 1990-an. Para menteri telah memperingatkan bahwa jika penjarahan berlanjut, ada daerah-daerah yang berisiko kehabisan persediaan makanan pokok dalam waktu dekat. 

Meski begitu pemerintah Afrika Selatan tidak menyatakan keadaan darurat.

Kerusuhan memanas di Afrika Selatan terjadi saat Pengadilan Tinggi negara pada Senin 12 Juli menggelar sidang untuk mendengar permohonan pihak Zuma guna membatalkan hukuman penjara 15 bulan yang ia terima. Zuma telah mulai menjalani hukuman pada Kamis pekan lalu.

Zuma dijatuhi hukuman karena menentang perintah pengadilan konstitusi untuk memberikan bukti atas penyelidikan korupsi tingkat tinggi yang terjadi selama sembilan tahun kepemimpinannya, tepatnya hingga 2018.