Menilik Bahasa yang Biasa Kita Gunakan untuk Menggambarkan Disabilitas

- Priya Kuriyan
Sumber :
  • bbc

Calon wakil presiden Ma’ruf Amin diperkarakan karena menggunakan kata ‘budek’ dan ‘buta’ dalam pidatonya. Kasus ini menyoroti penggunaan bahasa yang biasa kita gunakan untuk menggambarkan disabilitas.

Ma’ruf Amin sudah dua kali dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lantaran dalam pidatonya menyebut orang-orang yang menyangkal pencapaian pemerintah sebagai ‘buta’ dan ‘budek’.

"Orang yang sehat dapat melihat jelas prestasi yang ditorehkan Pak Jokowi, kecuali orang yang budek saja enggak mau mendengar informasi dan orang yang buta saja yang enggak bisa melihat kenyataan," demikian kutipan pidato yang dipersoalkan.

Pidato tersebut disampaikan pasangan Cawapres Joko Widodo itu pada sebuah acara di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Timur, Sabtu 10 November lalu.

Kendati belakangan mengklarifikasi bahwa pernyataannya tersebut tidak bermaksud menyinggung kondisi fisik, Ma’ruf tetap dituduh menghina para penyandang disabilitas oleh Advokat Senopati 08, yang merupakan kelompok pengacara pro-Prabowo Subianto, dan Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia.

Sang ketua umum nonaktif MUI juga dituntut untuk meminta maaf kepada masyarakat disabilitas. Terlepas dari kisruh politik menjelas pemilihan presiden 2019, karakterisasi Ma’ruf dalam pidatonya dikritik sejumlah pegiat disabilitas, meski juga dimaklumi.

Pegiat disabilitas penglihatan (netra), Irwan Dwi Kustanto menyayangkan penggunaan orang buta sebagai pengibaratan orang yang menyangkal pencapaian pemerintahan Jokowi. Ia mengungkap bahwa ‘buta’ bukanlah sebutan favoritnya.

"Lebih suka `disabilitas netra`... `tuna netra` juga enggak apa-apa. Jadi urutannya: disabilitas netra, tuna netra, baru buta," tuturnya, kendati ia tidak keberatan bila dipanggil dengan sebutan apapun.

Disabilitas dan ketidaktahuan

Irwan mengaku dirinya tidak tersinggung dengan pidato Ma’ruf Amin, memafhumi bahwa maksud perkataan sang cawapres bukanlah kondisi fisik melainkan hati.

Namun demikian, ia ‘prihatin' karena menurutnya, pidato tersebut menunjuk pada gambaran yang lebih besar, yakni bahwa orang non-disabilitas kerap mengaitkan disabilitas dengan ketidaktahuan atau kebodohan.

"`Buta`, `tuli`, itu kan ingin ditujukannya bukan kepada tidak melihat atau tidak mendengar, tapi kebodohan, di mana orang tidak mau melihat prestasinya Pak Jokowi. Tapi apakah benar, misalnya, saya ditanya apakah Pak Jokowi punya prestasi, saya bisa mengatakan walaupun di sana-sini masih ada kekurangan," tuturnya.

Irwan pun memberikan contoh lain: untuk menggambarkan orang berpandangan dangkal, misalnya, seringkali digunakan perumpamaan beberapa orang buta yang berusaha `melihat` gajah dengan cara merabanya.

Si buta yang meraba belalainya berkata bahwa gajah itu bertubuh panjang, sementara yang meraba ekornya menggambarkan bahwa gajah berwujud seperti pecut, dan sebagainya.

Perumpamaan lainnya yakni istilah "Si buta menuntun yang buta", yang maksudnya adalah orang sesat tidak bisa menolong orang lain yang juga tersesat. Irwan mempertanyakan apakah kiasan-kiasan ini masih relevan di zaman kiwari.

"Apakah di zaman sekarang ini orang buta dan orang tuli sebodoh itu? Kan sudah tidak relevan lagi," ujarnya.

Lebih jauh, Irwan berpendapat bahwa persepsi buta sama dengan bodoh dapat berujung pada perilaku yang cenderung merendahkan penyandang disabilitas netra.

"Jadi, misalnya, kalau saya dengan anak saya berjalan lalu orang itu ingin ngomong sama saya, dia enggak ngomong langsung sama saya, dia ngomong sama anak saya... Padahal saya ada di sampingnya! Jadi saya tidak termanusiakan di situ," tutur Irwan.

Abilisme

Para pegiat disabilitas menyebut perilaku seperti ini (abilisme), yaitu diskriminasi atau prasangka sosial terhadap penyandang disabilitas.

Bangunan yang hanya memiliki tangga, tanpa jalur kursi roda, bisa dikatakan abilis. Contoh lain, yang lebih samar, misalnya membuat asumsi tentang apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan oleh seorang penyandang disabilitas, seperti pengalaman Irwan di atas.

Dalam hal bahasa, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, Leindert Hermeinadi mengatakan, para penyandang disabilitas kerap tersinggung dengan penggunaan kata yang ‘vulgar’ untuk menggambarkan disabilitas.

Sebutan-sebutan yang secara gamblang merujuk pada makna `cacat` sesungguhnya tidak disukai, menurut pria yang akrab dipanggil Didi ini.

"Saya [disabilitas] daksa, Mas. Misalnya ada yang jatuh dari (tak jelas) akhirnya dia pincang. Kata-kata begitu itu enggak enak keluar-keluar ke media, walaupun untuk iklan. Atau `Jangan lari kencang-kencang nanti jatuh, pincang`... Wah nyesek juga dengarnya," tutur Didi.

Didi mengatakan, sebaiknya sebutan-sebutan tersebut diganti dengan yang lebih halus; semisal disabilitas daksa (tubuh), disabilitas netra (penglihatan), disabilitas rungu (pendengaran), dan disabilitas grahita (mental).

Namun demikian, sebutan yang dianggap lebih sopan pun belum tentu disukai. Kelompok disabilitas rungu, misalnya, ternyata lebih suka dipanggil dengan sebutan ‘tuli’ daripada ‘tuna rungu’.

"Karena sebutan `tuna rungu` itu persepektif medis yang berarti kecacatan. Sementara bagi kami, kami tidak cacat," kata Michelle Layanto dari Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) lewat pesan teks.

Sedangkan tuli merupakan istilah sosial budaya bagi para pengguna bahasa isyarat. "Tuli merupakan sebutan seperti kebudayaan bagi kami semua," imbuh Michelle.

Perlu disosialisasikan

Mantan Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, mengatakan bahwa kata-kata seperti ‘tuli’ atau ‘buta’ sudah tak lagi digunakan di kalangan keilmuan, diganti dengan disabilitas.

Menurutnya, seiring bertambahnya kekayaan bahasa Indonesia, masyarakat sebaiknya menggunakan kata yang lebih santun.

"Bahasa itu realisasi dari kepribadian kita. Maka dari itu, kita menghargai orang lain sama. Orang yang punya keterbatasan itu dengan orang yang normal kita hargai sebagai yang sama," ujar Dendi, yang kini mengajar di program pascasarjana Universitas Indraprasta PGRI.

Pakar bahasa itu menyarankan agar pemerintah, melalui Badan Pengembangan Bahasa, menyebarkan istilah-istilah yang lebih santun itu ke redaksi media, hal yang selama ini menurutnya belum pernah dilakukan.

"Harus dikeluarkan kamus itu, disosialisasikan melalui, tentu saja, teman-teman wartawan media cetak untuk kata-kata yang santun bagi orang yang memiliki disabilitas," kata Dendi.

Sementara itu, berbagai pihak terus berusaha membuat masyarakat kita lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.

Pada 2015, Universitas Negeri Surabaya meluncurkan , berisi isyarat dan simbol untuk memudahkan komunikasi antara penyandang disabilitas dengan masyarakat umum.

Dan Oktober 2018 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan untuk para penyandang disabilitas netra.

Prakarsa ini disebut merupakan upaya pemerintah untuk memberikan akses bagi penyandang disabilitas, sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.