Menelusuri Jejak Sunan Kuning, Ulama China di Semarang
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – Sebutan Sunan Kuning, tentu telah melegenda di benak masyarakat Kota Semarang. Namun, ironisnya nama tokoh ulama penyebar Islam itu justru 'tercoreng', karena dipahami sebagai sebuah lokalisasi terbesar di ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Sunan Kuning diinterpretasikan sebagai sebuah kawasan yang terletak di kelurahan Kalibanteng Kidul, Semarang Barat. Namun, karena di kawasan itu terdapat puluhan kompleks hiburan malam yang berdiri sejak 1966 silam, orang akrab menyebut lokalisasi itu dengan sebutan "SK", alias Sunan Kuning.
Namun, kemasyhuran Sunan Kuning sebagai kawasan bisnis esek-esek membuat orang lupa tentang siapa sebenarnya tokoh Sunan Kuning itu sendiri. Padahal, komplek Sunan Kuning merupakan kawasan bernama Argorejo. Lebih tepatnya, komplek Resosialisasi Argorejo.
Lalu, siapa sebenarnya Sunan Kuning?
Sebutan Sunan, biasanya disematkan bagi tokoh Wali Songo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Sunan Kuning sebenarnya bernama Soen Ang Ing.
Beliau dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam asal Tiongkok, yang berpindah-pindah tempat di Indonesia. Nah, lidah orang Jawa menyebut Seon Ang Ing dengan Sunan Kuning.
Tak diketahui pasti tahun berapa Soen Ang Ing berdakwah menyebarkan Islam di Semarang. Namun, penulis Remy Silado dalam buku "9 Oktober 1740: Drama Sejarah", dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, menyebut bahwa Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama populer Raden Mas Garendi.
Buku tersebut juga menyebutkan bahwa Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling (bangsawan tertinggi). Cun Ling sendiri merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan tahun 1740-1743.
Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi, atau Sunan Kuning sebagai Raja Mataram bergelar 'Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama' pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Kala itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun –sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai raja orang Jawa dan Tionghoa.
Makam Sunan Kuning
Meski kenyataannya, makam Sunan Kuning berada hanya berjarak 50 meter dari komplek Resosialisasi Argorejo. Tepatnya berada di sebuah bukit mini dengan sebutan Gunung Pekayangan di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat.
VIVA co.id berkesempatan menelusuri makam Sunan Kuning di bukit Pekayangan. Salah seorang tokoh yang ditemui adalah Sutomo (67 tahun), yang tak lain adalah juru kunci makam Sunan Kuning. Mbah Tomo, sapaan akrabnya, bahkan dengan senang hati mengantar menelusuri makam dengan beragam cerita di dalamnya.
Untuk menemukan lokasi makam Sunan Kuning sebenarnya cukup mudah. Bila pengunjung telah masuk gang-gang di kompleks lokalisasi Argorejo, pasti akan menemukan ujung komplek di sisi barat Argorejo.
Dari situ, ada sebuah portal besi sebagai batas komplek hiburan malam dengan perkampungan warga di Jalan Sri Kuncoro 1. Makam Sunan Kuning berada terletak sekitar 50 meter dari portal tersebut.
Untuk sampai di komplek makam, pengunjung harus memasuki sebuah gapura bercat hijau dan menaiki jalan setapak di komplek makam. Sebelum sampai di makam utama Sunan Kuning, ada pemakaman penduduk bernama Tepis Wiring.
Sampai di puncak bukit, ada pintu gerbang kedua dengan arsitektur khas Tiongkok yang menjadi pintu masuk area makam Sunan Kuning. Di dalam area makam terdapat tiga bangunan mirip rumah mini, serta pohon-pohon besar rindang yang menjulang tinggi.
Bangunan rumah pertama diperuntukkan bagi peziarah yang hendak istirahat, atau menginap. Sedangkan rumah kedua, terdapat tiga makam tertulis nama Kyai Sekabat, Kyai Djimat, dan Kyai Modjopahit.
Menurut cerita Sutomo, ketiga makam itu merupakan murid, sekaligus pembantu setia Sunan Kuning. Dengan logat Jawa, Sutomo menyebut sebagai "Patih Kanjeng Sunan Kuning".
Sutomo lalu menunjukkan makam Sunan Kuning di bagian sisi pojok makam. Sebuah bangunan permanen khas Tiongkok dengan dominasi cat kuning. Bangunan itu dilengkapi dengan teras mirip pendopo sebagai tempat berziarah.
Sebuah pintu besar warna merah menyala lalu dibuka Sutomo dengan hati-hati. Jari telunjuknya, lalu menunjukkan satu persatu makam yang berjumlah tiga nisan, termasuk Makam Sunan Kuning.
"Ini makam Soen Ang Ing, atau Kanjeng Sunan Kuning, lalu ini makam Sunan Kalijaga, dan ini Sunan Ambarawa, atau Syekh Maulana Maghribi Kendil Wesi," ucap Sutomo sembari mempersilakan VIVA co.id, mengambil foto di makam tersebut.
Secara fisik, ketiga makam utama itu sengaja diberi rumah-rumahan kecil lengkap dengan kelambu dominasi warna merah. Persis di depan nisan berkelambu, ada ornamen patung mini khas China.
Sedangkan di dinding tampak gambar Walisongo, serta ornamen China. Ada juga sejumlah dupa berikut wadahnya yang belum lama digunakan oleh peziarah di depan makam.
"Makam di sini selalu bersih dan terjaga dengan baik. Peziarah juga kalau di bulan Asyura, seperti saat ini memang ramai," ujar bapak lima anak dan tiga cucu tersebut.
Meski begitu, Sutomo mengaku menyayangkan pamor makam ulama besar Sunan Kuning yang perlahan memudar, seiring kentalnya sebutan Sunan Kuning sebagai kompleks bisnis esek-esek.
"Padahal, dulunya makam sini itu wingit dan sakral. Peziarah banyak datang dari kota-kota besar di Indonesia. Makanya, harus diluruskan bahwa Sunan Kuning bukanlah kompleks lokalisasi, tapi makam ulama besar," kata pria generasi kelima juru kunci Makam Sunan Kuning itu. (asp)