Ramai-ramai 'Keroyok' Google
- REUTERS/Jacques Brinon/Pool
VIVA.co.id – Kota Paris, Selasa 24 Mei 2016, pukul 05.00 pagi. Di kala suasana masih sunyi senyap, terdengar derap sepatu bot dari banyak kaki.
Seratus petugas gabungan dari tim penyidik pajak dan polisi Prancis mengerubungi sebuah gedung. Ternyata, itu adalah kantor perwakilan Google di Prancis.
Mereka rupanya memaksa masuk ke kantor itu lewat suatu operasi penggerebekan. Tak pelak, penggerebekan ini pagi-pagi sudah membikin heboh ibu kota Prancis itu. Tanpa tedeng aling-aling, kantor yang berada di dekat Stasiun Kereta Gare Saint-Lazare itu pun langsung disegel oleh petugas.
Tak ada warga yang berani bertanya kepada kumpulan petugas itu, kenapa mereka datang pagi-pagi buta untuk menyegel kantor Google. Beberapa jam kemudian, hanya muncul pernyataan tertulis dari kantor Penyidikan Keuangan Negara (PNF), sebagai penanggungjawab penggerebekan.
“Operasi ini merupakan bagian dari penyelidikan awal yang dibuka pada tanggal 16 Juni 2015 terkait dengan kasus penyelewengan keuangan seperti yang disampaikan oleh otoritas pajak Prancis,” demikian ungkap pernyataan resmi PNF, seperti dikutip The Guardian.
Penggerebekan tersebut adalah bagian dari investigasi khusus pihak berwenang Prancis terhadap Google soal penipuan keuangan dan kejahatan pencucian uang yang terencana. Setelah ditelisik lebih lanjut, kehadiran ratusan petugas tersebut menyusul adanya laporan bahwa perusahaan teknologi mesin pencari asal Mountain View, California, Amerika Serikat itu, mengemplang pajak setempat.
Berdasarkan laporan pajak setempat pada Februari 2016, Google belum membayar secara patut kepada pemerintah Prancis. Totalnya mencapai 1,6 miliar euro atau sekitar Rp23,5 triliun.
Sungguh angka fantastis! Melansir situs Reuters, kasus penggelapan pajak Google sebenarnya sudah dikeluhkan pemerintah Prancis sejak Juni 2011. Kala itu, mereka telah diawasi ketat karena tuduhan melakukan transfer transaksi bisnis di Prancis ke Irlandia. Hingga kini, Google mempekerjakan 700 staf di Negeri Menara Eiffel itu.
Bagian depan Kantor Perwakilan Google di Paris, Prancis, disegel aparat berwenang pada 24 Mei 2016 (Foto: Reuters)
Pembayaran pajak perusahaan-perusahaan internasional belakangan ini menjadi perhatian berbagai pihak karena 'pengaturan' yang membuat mereka membayar pajak yang dianggap amat kecil, jika dibanding dengan pendapatan maupun keuntungan. Google diduga sudah lama menjalankan skema menghindari pajak di negara-negara yang menetapkan ketentuan pajak tinggi.
Dalam praktiknya, untuk menghindari pajak tinggi di sebuah negara, perusahaan teknologi asal AS seperti Google, melarikan hasil pendapatannya ke negara yang menerapkan ketentuan pajak rendah dan aturan pajak yang longgar.
Siasat Khusus
Salah satu yang menjadi tujuan favorit perusahaan teknologi besar untuk melarikan pendapatan ke Irlandia. Lembaga Bantuan Moneter Internasional (IMF) sudah mengendus skema perusahaan teknologi untuk menghindari pajak.
Menurut situs Finfact, IMF mengatakan banyak perusahaan yang menjalankan skema ‘Double Irish with a Dutch Sandwich’. Parahnya, IMF mengatakan, banyak negara yang menawarkan 'jalan' untuk perusahaan teknologi sekelas Google agar bisa menghindari pajak.
Sangat jelas, mereka lebih memilih melarikan pendapatannya ke Irlandia dibandingkan mengembalikan ke AS, demikian dikatakan surat kabar New York Times.
Siasat menghindari pajak melalui ‘Double Irish with a Dutch Sandwich’ itu, Google setidaknya butuh tiga anak perusahaan di luar AS, yaitu dua perusahaan di Republik Irlandia dan satu perusahaan di Belanda.
Pada skema mengakali pajak ini, anak perusahaan pertama di Irlandia akan menampung semua pendapatan perusahaan di berbagai wilayah dunia. Sedangkan, satu anak perusahaan lainnya di Irlandia akan menjadi pemegang royalti dari paten.
Guna menghindari pajak di Irlandia, anak perusahaan pertama perusahaan teknologi itu secara legal tidak dikelola di Irlandia, tetapi dikendalikan dari negara yang menjadi surga pajak, atau memberikan suaka pajak (tax haven).
Biasanya, anak perusahaan teknologi ini dikendalikan dari negara di Karibian, Kepulauan Cayman, Bahama, atau Bermuda yang diketahui tidak mengenakan pajak untuk perusahaan besar tersebut, atau nol persen. Nah, anak perusahaan pertama di Irlandia itu akan memberikan lisensi paten dan royaltinya ke anak perusahaan kedua.
Dengan taktik ini, maka anak perusahaan kedua di Irlandia akan menerima pemasukan dari anak perusahaan pertama. Di Irlandia, royalti dipajaki lebih rendah dibandingkan pemasukan jenis lainnya.
Namun, royalti dan pendapatan yang didapatkan anak perusahaan kedua tergolong pajak yang kecil, karena royalti, atau pemasukan yang didapatkan dari anak perusahaan pertama, termasuk biaya yang tak dapat dikurangkan (deductible expenses).
Manipulasi Keuangan
Hal ini memungkinkan tidak ada pajak yang harus dibayarkan kepada mereka. Tak berhenti di situ. Pendapatan yang diperoleh anak perusahaan kedua di Irlandia itu, akan dialihkan ke anak perusahaan lain di Belanda.
Caranya, dengan memberikan royalti dan paten ke perusahaan Belanda tersebut, sebelum nantinya dikembalikan ke anak perusahaan pertama di Irlandia. Skema ini makin didukung dengan aturan bebas pajak untuk transfer pembayaran royalti antarnegara anggota Uni Eropa.
Dengan aturan itu, maka perusahaan bisa menghindari pajak melalui bantuan anak perusahaan di Belanda. Sementara itu, begitu penghasilan tersebut saat masuk ke AS, maka ketentuan pajaknya pun tidak bisa mengenakan pajak dari penghasilan yang berasal dari perusahaan Irlandia.
Kembali ke kasus Prancis. Berdasarkan laporan keuangannya menunjukkan perolehan pendapatan Google sebesar 216 juta euro (sekitar Rp3 triliun) dan keuntungan sebesar 12,2 juta euro (sekitar Rp185 miliar), hanya untuk operasional di Prancis sepanjang 2014.
Dari hasil laporan keuangan itulah, Google mengklaim sudah membayar pajak sebesar lima juta euro. Akan tetapi, laporan tersebut dibantah para peneliti iklan yang menyebut pendapatan Google sebenarnya adalah sekitar 1,7 miliar Euro (sekitar Rp25,8 triliun) di tahun itu.
Sementara itu, Alphabet Inc., induk perusahaan Google, melaporkan keuntungan mencapai US$14,1 miliar atau sekitar Rp192 triliun pada 2014, di mana pendapatannya mencapai US$66 miliar atau sekitar Rp900 triliun. Jika terbukti bersalah, Google terancam membayar denda 10 juta euro (sekitar Rp152 miliar).
"Investigasi ini bertujuan untuk memverifikasi apakah Google Ireland Ltd. memiliki basis permanen di Prancis, dan jika dengan tidak mengumuman aktivitas yang dilakukan di negara kami. Google telah melanggar kewajiban fiskalnya, termasuk pajak perusahaan," kata salah seorang petinggi pajak Prancis, dilansir dari situs Reuters.
Sementara, CEO Google, Sundar Pichai, mengklaim kalau perusahaannya tak memiliki masalah pajak, namun akan berkomunikasi lebih lanjut dengan pemangku kebijakan di Perancis. "Kami mematuhi hukum pajak di Perancis, seperti di negara-negara lain. Kami bekerja sama sepenuhnya dengan pihak berwenang untuk menjawab pertanyaan mereka," ungkapnya.
Menurut Pichai, sebagai perusahaan global, Google wajib mematuhi ketentuan pajak di mana saja. Hanya saja, ia menyarankan pemerintah membuat aturan yang lebih sederhana. "Kami terus mengadvokasi agar sistem pajak global dibuat lebih sederhana," papar dia.
Sensor Berujung Retas
Usaikah nestapa Google? Belum. Di China bahkan lebih sadis lagi. Negeri Tirai Bambu ini bernyali menindak tegas dengan terang-terangan memblokir Google dan meniadakan ketergantungan pada perusahaan digital negeri Paman Sam tersebut.
Sebenarnya, Google masuk ke China pada 1999 dengan menggunakan domain google.com. Namun, karena bebasnya akses menyebabkan Beijing gerah, terlebih dengan aksi demonstrasi dan gerakan pro-Barat.
Hal inilah yang menyebabkan China memblokir akses terhadap situs google.com. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak Google dihadapkan pada dua pilihan.
Tetap bertahan melakukan pengoperasian Google dari luar negeri dengan konsekuensi operasional yang lambat, atau, membuka cabang di China dengan memindahkan server ke China.
Pilihan kedua menyebabkan keuntungan bagi China karena akan meningkatkan kecepatan akses Google, disertai asas taat hukum di sana.
Google pun menyerah. Mereka akhirnya ‘resmi’ beroperasi pada 2006 dengan mengubah domain menjadi google.cn. Mereka, awalnya, juga sepakat dengan persyaratan dari pemerintah bahwa mereka harus menyensor semua data dan informasi yang berkaitan erat dengan pemerintah.
Namun di perjalanan, Google membangkang. Akibatnya bisa ditebak. Pada 2010, melansir situs Reuters, layanan Google dilarang sebagian di China. Pemerintah China hanya memperbolehkan warganya mengakses Gmail, layanan surat elektronik (email) dari Google.
Tidak ada penjelasan langsung dari Google mengenai gangguan layanan di China. Layanan yang sepenuhnya ditutup pemerintah China adalah web search, Google Ads, Youtube serta Google Mobile.
Pemerintah China resmi menutup akses itu untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu lalu sempat bermasalah dengan Google atas tuduhan serangan peretas di dunia maya (cyber-attack).
Layanan lain yang normalnya dapat diakses secara menyeluruh seperti Google Images dan Google News, kini dilabeli ‘partially blocked’ alias hanya sebagian dari layanannya yang dapat diakses oleh warga China.
Tak kuat dengan penyensoran yang terjadi dan menuding bahwa para peretas dari China yang melancarkan serangan yang berimbas pada pencurian dari hak kekayaan intelektualnya, perusahaan teknologi itu memutuskan keluar dari China, pada 22 Maret 2010.
Memilih Hong Kong
David Drummond
David Drummond, Kepala Eksekutif Pengembangan Korporat dan Urusan Hukum Google, seperti dikutip dari situs New York Times, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menemukan ‘serangan yang sangat canggih atas infrastuktur kami yang berasal dari China’.
"Serangan-serangan ini membuat kami memutuskan untuk meninjau kelayakan operasi bisnis kami di China," tulis Drummond, dalam blog pribadinya. Kendati demikian, Drummond tidak menyebut apakah Google sudah mengidentifikasi pihak-pihak yang melakukan serangan siber ke jaringan komputer mereka.
Menurut dia lagi, tujuan utama para peretas adalah mengakses akun milik para aktivis hak asasi manusia (HAM) China di situs surat elektronik Gmail.
Tak hanya itu, serangan siber juga terjadi pada situs milik 20 perusahaan besar di sektor keuangan, teknologi, media, dan kimia. Dengan tutupnya kegiatan Google di China, Drummond menyatakan bahwa perusahaannya tidak lagi menyensor data laman pencari informasi Google berbahasa Mandarin.
Google lalu akan bertemu dengan pihak berwenang di China apakah bisa mengoperasikan situs pencari yang tak di sensor di China. "Kami sadar bahwa kebijakan ini akan menutup domain google.cn dan berpotensi menutup kantor-kantor kami di China," lanjut Drummond.
Dia menegaskan bahwa keputusan ini berdasarkan arahan dari para eksekutif Google di AS dan ‘tanpa sepengetahuan atau keterlibatan para staf di China.’ Ke manakah Google berlabuh? Drummond menyatakan perusahaannya mengalihkan para pengguna ke domain google.com.hk, atau Hong Kong. Hal tersebut dilakukannya pada akhir Juni 2010.
Lain halnya dengan di Inggris. Pada Januari 2016, pemerintah Inggris meminta Google untuk membayar 130 juta poundsterling (Rp2,5 triliun) setelah dilakukan audit terbuka oleh otoritas pajak setempat.
Melansir situs Financial Times, Kesepakatan itu mendapat kritik dari anggota parlemen oposisi Inggris yang menilai jumlahnya terlalu rendah.
Tagihan itu meliputi utang pajak Google di Inggris selama 10 tahun (2005-2015), setelah enam tahun penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas pajak Her Majesty's Revenue and Customs (HMRC).
'Win-win solution'
Google dituding sebagai salah satu dari perusahaan yang menghindari pajak, meskipun meraih pundi-pundi besar dari penjualan di Inggris. Padahal, pendapatan Google Inggris dalam rentang waktu 10 tahun ditaksir mencapai 7,2 miliar poundsterling atau Rp123 triliun. Tak hanya itu, Google sendiri disebut menghasilkan keuntungan besar di Inggris melalui iklan online.
Di awal tahun ini, Google mengaku telah setuju mengubah sistem akuntansinya agar proporsi aktivitas penjualan di Inggris bisa lebih tinggi dibanding di Republik Irlandia. Inggris juga tercatat merupakan pasar terbesar Google setelah AS. Menanggapi geliat Google ini, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, kepada VIVA.co.id mengatakan, perihal pengenaan pajak terhadap Google, dirinya melihat membutuhkan skema yang tujuannya melawan kesewenang-wenangan perusahaan multinasional.
“Inggris mengenalkan Diverted Profit Tax, India ada Equalisation Tax, sedangkan Australia itu MAAL (The Multinational Anti-Avoidance Law). Semuanya adalah untuk melawan Google,” ungkap Yustinus. Ia lalu memberi contoh otoritas pajak seperti HMRC di Inggris, yang dinilainya sangat bagus.
Menurut dia, lembaga tersebut sangat solid, cerdas, dan konsisten. “Intinya, mereka menekankan membayar pajak yang sesuai (fair). Tapi harus dirumuskan cara dan strategi yang tepat,” paparnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, Inggris dalam upaya melakukan perlawanan Google dengan cara mengeluarkan aturan baru. Dengan demikian, lanjut Yustinus, siapa pun yang meraup keuntungan dari bisnisnya di Inggris, dan meskipun fisiknya (bangunan) tidak ada, tetap dikenakan pajak sebesar 25 persen.
“Ada win-win solution. Lagipula, harus ada peran aktif juga dari parlemen. Bagusnya, Parlemen Inggris waktu menangani Google itu melakukan investigasi langsung. Dari sisi publik juga harus diberikan pengertian. Apakah sudah siap kalau nanti misalnya Google hengkang,” lanjut Yustinus.
(ren)