Menyingkirkan Pangeran-pangeran Arab Saudi

Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman.
Sumber :
  • REUTERS/Hamad I Mohammed

VIVA – Penangkapan atas sebelas pangeran di Arab Saudi akibat korupsi beberapa waktu lalu ibarat bunyi gong yang menandai jargon reformasi yang diusung Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman. Terobosan itu jelas spektakuler, karena terjadi di sebuah negara kerajaan yang selama ini dikenal sangat konservatif.

Putra Raja Saudi dari istri ketiga itu makin membuktikan keseriusan visi yang dia buat sebagai calon pemimpin masa depan. Namun, ada yang menganggap langkah kontroversial itu sebagai jurus politis Mohammad bin Salman dalam menyingkirkan rival-rival potensial tatkala dia naik tahta di kemudian hari.

Beberapa bulan terakhir, ada saja langkah Kerajaan Arab Saudi yang patut menjadi perhatian publik. Bila dirunut, berbagai terobosan terjadi tak lama setelah Pangeran Mohammad bin Salman yang merupakan putra mahkota Kerajaan Saudi mendengungkan perlunya reformasi di negara itu.

Pangeran Mohammad sejak mendapatkan gelar sebagai putra mahkota menjadi figur penting di balik sang ayah, Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud. Setahun terakhir, pengaruhnya sangat besar. Didapuk sebagai Menteri
Pertahanan sekaligus menjabat posisi penting Dewan Ekonomi Saudi, Pangeran Mohammad juga memiliki akses yang luas terhadap kebijakan ekonomi, politik dan keamanan.
 
Pada dasarnya, putra mahkota tersebut mengatakan ingin mengubah Arab Saudi setelah masa 30 tahun yang menurutnya tak normal. Saat diwawancarai The Guardian, Pangeran Mohammad berjanji akan mengembalikan negara Arab Saudi yang moderat.

Ucapan itu dicatat sebagai pernyataan paling tegas dan lugas yang pernah keluar dari seorang figur penting Kerajaan Saudi setelah sekian lama negara itu ibarat tak bisa disentuh khususnya dalam hal sosial dan tradisi
agama.

“Apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir ini bukan Arab Saudi. Apa yang terjadi di wilayah ini 30 tahun terakhir bukan Timur Tengah yang sesungguhnya. Setelah Revolusi Iran pada tahun 1979, orang serta-merta ingin menyalin model itu ke berbagai negara termasuk ke Arab Saudi. Sayangnya pendahulu kami selama ini tidak bisa mengatasi masalah ini. Sekarang saatnya untuk menyingkirkannya,” kata Pangeran Mohammad yang baru berusia 32 tahun tersebut.

Jadi figur penting di lingkungan Raja Arab, Pangeran Mohammad kemudian mengeluarkan Visi 2030 yang menjadi dasar peta jalan perubahan yang akan dilakukannya di Saudi dalam berbagai aspek termasuk ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Tak butuh waktu lama, gaungnya sudah mulai terdengar.

Pangeran Mohammad sebagai contoh sedang menyiapkan zona ekonomi khusus pariwisata sekelas Dubai seluas 470 Kilometer di pantai Laut Merah. Wilayah itu akan menjadi pusat ekonomi liberal yang menandakan Arab Saudi mulai membuka pintu bagi sumber ekonomi selain minyak.

Belum lama ini, otoritas Arab Saudi juga mengumumkan kelonggaran atas aktivitas perempuan yang selama ini sangat dibatasi di negaranya. Para perempuan Saudi akan diperbolehkan menyetir mobil dan menonton pertandingan di stadion maupun gelanggang olahraga lainnya. Kebijakan itu akan mulai berlaku pada tahun 2018. Tak hanya itu, kaum hawa bakal diperbolehkan bepergian ke luar negeri tanpa harus didampingi oleh suami.

Tak sampai di situ, Arab Saudi pada September 2017 lalu juga menangkapi para ulama atau syeikh yang dianggap beraliran garis keras.  Atas restu Raja Salman, para ulama yang dianggap beririsan dengan aksi dan jaringan teroris berbahaya bagi Saudi ditahan. Mereka kebanyakan dilaporkan memiliki hubungan dengan Qatar dan Ikhwanul Muslimin yang dicap Saudi sebagai pendukung teroris.

Korupsi, ‘Dosa’ Legal Baru

Yang menarik, sepak terjang Pangeran Mohammad juga menyasar dugaan kasus-kasus korupsi yang selama ini hampir tak mungkin terungkap apalagi berhubungan dengan keluarga dan kerabat Kerajaan Saudi.  Pada tahun 2017, Pangeran Mohammad membentuk lembaga sejenis Komisi Antikorupsi. Baru berdiri beberapa bulan, lembaga itu mulai menunjukkan “taringnya”.
 
Pada Sabtu, 4 November 2017 dilakukan penangkapan terhadap 11 pangeran Arab Saudi, belasan menteri dan mantan pejabat negara itu. Mereka ditahan atas pasal korupsi. Kejadian ini mengejutkan publik. Apalagi salah satu pangeran yang ditahan tak lain adalah salah satu miliarder terkaya Saudi yang memiliki saham di banyak perusahaan multinasional ternama di berbagai belahan dunia, Pangeran Alwaleed bin Talal sebagaimana dilansir BBC.

Situs Wikileaks sebelumnya pernah merilis data-data besarnya kucuran dan biaya bulanan kepada keluarga kerajaan dan adanya sejumlah penyalahgunaan uang negara oleh keluarga kerajaan dan bangsawan. Namun sayangnya, korupsi di Arab Saudi ibarat tak dianggap sebagai kejahatan selama ini, apalagi yang dikaitkan dengan para figur berpengaruh.

Laman The Guardian juga pernah merilis nama-nama pangeran Arab Saudi yang tinggal di Eropa dan kemudian dikabarkan hilang, diduga dipaksa pulang ke negaranya dan dihukum karena mencoba melakukan mobilisasi dan protes tradisi konservatif di negara itu. Mereka juga sempat memprotes maraknya kasus korupsi di lingkungan kerajaan.

Tak ayal karena itu, pembentukan Komisi Antikorupsi menjadi pertanda awal baru bahwa korupsi kini ibarat dosa baru yang secara legal dan luas melanggar hukum di Saudi dan akan diproses tanpa pandang bulu.

Meski langkah penegakan hukum tersebut sempat menuai kritik karena dianggap politis demi menyingkirkan lawan politik yang potensial pada masa depan, kebijakan ini juga diapresiasi oleh kalangan masyarakat Saudi. Sementara orang-orang dekat sang pangeran juga menegaskan bahwa Mohammad justru bisa menunjukkan kepemimpinan yang kuat sekaligus menyentuh kehidupan rakyat.

“Betul mungkin kalau kekuasaan saat ini begitu sentral namun dia (Mohammad) melakukan apa yang harus dilakukan. Dia memang harus melakukan konsolidasi menyeluruh. Selalu ada akibat yang mau tak mau harus diterima,” kata salah satu pejabat di lingkungan Pangeran Mohammad.

Sementara para pendukung kebijakan Pangeran Mohammad yang populer di kalangan muda itu lantas menilai sepak terjang sang putra mahkota sebagai langkah revolusioner.

Jurus Penyelamatan

Menyusul dinamika yang terjadi di Saudi beberapa bulan belakangan, Ketua Kajian Timur Tengah dan Islam dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, memberikan tanggapan. Menurut dia, reformasi ala Pangeran Mohammad dengan Visi 2030 itu ibarat modernisasi yang memang mau tak mau harus dilakukan agar Arab Saudi agar tidak semakin terpuruk.

Pasalnya pada saat ini, negara tersebut mengalami defisit secara ekonomi. Dengan sumber keuangan yang lebih 90 persen mengandalkan minyak mentah maka Arab Saudi akan sulit untuk bangkit.

Selain perlu mengakomodasi ekonomi yang relatif liberal seperti rencana kawasan ekonomi turis Pangeran Mohammad, pemerintah Saudi juga harus bisa menunjukkan sikap yang mengakomodir kepentingan rakyat. Dalam hal itu, moderat adalah nilai yang dirasa lebih masuk akal untuk diterima masyarakat khususnya generasi muda.

“Mau tidak mau harus dilakukan. Kalau tidak, cost sangat besar. Bila aspirasi publik tidak disambut oleh kalangan Kerajaan, dikhawatirkan jadi akumulasi dan merambah ke sektor politik terutama soal partisipasi publik
di pemerintahan,” kata Yon Machmudi saat dihubungi VIVA, Selasa 7 November 2017.

Sementara mengenai penangkapan dan penahanan para pangeran dan menteri yang terjerat korupsi dipandang Yon dari dua sisi. Yang pertama, hal itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi Saudi. Iklim transparansi dalam hal ekonomi dan keuangan akan menjadi kunci jika Arab ingin mendulang lahan baru seperti investasi dan sektor pariwisata. Kebijakan itu juga dianggap konsisten dan akan mendukung Visi 2030 Pangeran Mohammad.
  
Dari sisi politik dan sosial, Kerajaan Saudi pada saat ini berusaha memosisikan diri di hadapan rakyat sebagai pihak yang punya tanggung jawab menjalankan reformasi termasuk menegakkan hukum. Pengamat tersebut menilai bahwa kebijakan ini sebenarnya cukup riskan jika para koruptor yang ditangkap melakukan perlawanan yang bisa mengganggu stabilitas negara itu.  

“Akan membutuhkan waktu yang panjang karena reformasi Arab tak bisa radikal dan cepat tapi harus evolusi. Kalau secara radikal akan menimbulkan perlawanan balik,” ujar Yon. (ren)