Ada Darah Indonesia, Eddie Van Halen Alami Rasisme Semasa Hidup

Eddie Van Halen dan orang tuanya
Sumber :
  • asian-dawn

VIVA – Edward Lodewijk van Halen atau dikenal sebagai Eddie Van Halen, meninggal dunia pada Selasa, 6 Oktober 2020. Gitaris band rock Van Halen itu meninggal di Rumah Sakit St. John, Santa Monica, karena penyakit kanker yang dideritanya.

Menilik garis keturunannya, Eddie ternyata memiliki darah Indonesia dari sang ibu, Eugenia van Beers. Eugenia merupakan wanita berdarah Indonesia-Belanda yang lahir di Rangkasbitung. Sementara ayah Eddie, Jan van Halen adalah seorang pemain saksofon Belanda berdarah Swedia.

Seperti diketahui, isu rasisme sangat santer di luar negeri. Hal ini juga turut dialami oleh Eddie Van Halen dan saudaranya, Alex Van Halen, pendiri band rock Van Halen. Keduanya lahir pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. 

Baca juga: Sakit Kepala Seperti Ini Bisa Menjadi Gejala Umum COVID-19

Dilansir Asian Dawn, Rabu 7 Oktober 2020, dalam sebuah wawancara dengan Alternative Nation, David Lee Roth, mantan vokalis Van Halen dari tahun 1974 hingga 1985 itu menjelaskan bahwa Van Halen bersaudara, menderita rasisme dan penghinaan ketika masih anak-anak di Belanda, karena mereka berdarah setengah Asia.

Sang ibu, Eugenia van Halen, turut menanggung beban rasisme tersebut. Dia mendapat penolakan di toko dan restoran, diludahi, dan dilempari makanan sambil menggendong anak-anaknya. 

Eddie dan Alex juga dipukuli di sekolah, karena dianggap keturunan campuran. David lebih jauh menceritakan, pernikahan Van Halen bersaudara di Belanda, seperti pria kulit hitam yang menikahi mahasiswi kulit putih di Tennessee atau Mississippi pada 1958.

Saat situasinya semakin buruk, keluarga Van Halen memutuskan pindah ke Amerika untuk menjalani kehidupan baru. Keduanya menetap di Pasadena, California, yang berada tepat di sebelah Lembah San Gabriel, yang terkenal memiliki populasi imigran Asia yang besar.

Di Amerika, keluarga Van Halen tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Inggris dan orangtuanya harus bekerja serabutan untuk mencari nafkah. Untungnya, rasisme yang mereka alami di Amerika, jauh lebih ringan dibanding yang mereka alami di Belanda.