Derita Hidup, Ditinggal Suami dengan Anak Perempuan Cacat

Keadaan menyedihkan Putri Septiani yang tergolek lumpuh layu.
Sumber :

VIVA.co.id – Tak terlukiskan derita Ny. Triwiyati, 36 tahun. Wanita yang hidup dari hasil jualan bumbon (bumbu dapur) di Pasar Kecamatan Bangsri, Jepara, Jawa Tengah ini. Empat tahun lalu suaminya meninggal karena gagal ginjal.

Kini dia janda, dan harus menghidupi tiga anak yang masih kecil-kecil. Anak perempuan nomor dua malah mengalami cacat fisik dan mental sejak lahir. “Saya kini hanya berpasrah pada Tuhan,” tuturnya dalam nada duka.

Semasa suaminya masih hidup, keluarga Triwiyati sudah goyah. Itu karena kemiskinan yang menderanya. Lebih parah lagi, manakala suami yang pekerjaannya sebagai buruh tani diketahui mengidap sakit ginjal. Bersamaan itu, lahir anak perempuan nomor dua, Putri Septiani, yang kini berusia enam tahun. Entah takdir atau suatu misteri Ilahi, sejak lahir anak itu mengalami kecacatan. Tubuhnya lumpuh-layu, jantung dan parunya tak normal, serta indera mata tak berfungsi.

Awalnya, melalui segala upaya, Triwiyati berusaha mengobati suami dan anaknya di rumah sakit. Sayang, karena beban biaya berobat terlampau berat, pengobatan pun dihentikan. Akibatnya, kondisi suami kian parah. Mestinya harus melakukan cuci darah, namun karena biayanya dianggap amat mahal terpaksa tidak dilakukan. Dalam kondisi macam itu, suaminya masih memaksakan diri untuk bekerja. Fatal akibatnya, suami dijemput maut.

Triwiyati tinggal di Desa Ngandong Bumiharjo, Rt.01/Rw.07, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Semula ia masih menaruh harapan kalau Putri Septiani, anaknya, bisa disembuhkan. Anak itu hingga usia lima tahun secara rutin selalu di bawa ke Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK) Semarang, yang berjarak 150 km dari desanya, guna mendapatkan terapi. Tapi sudah setahun ini Triwiyati tak membawa Putri Septiani ke RSDK.

Menurut Triwiyati, dia sudah putus asa mencari kesembuhan bagi anaknya. Apalagi jika dilihat kenyataan, bertahun-tahun anaknya di terapi tapi sama sekali tak ada kemajuan. Bahkan timbul frustrasi di saat medis RSDK berkata kalau Putri Septiani sulit dan tidak bisa disembuhkan. "Anak ini akan begini terus, tidak bisa disembuhkan," ujar Triwiyati menirukan ucapan dokter di RSDK.

Selain hal di atas yang membuat Triwiyati menghentikan terapi bagi anaknya, juga ada hal lain terkait biaya. Ongkos transportasi membawa Putri Septiani pergi pulang dari desa ke RSDK relatif besar. Belum termasuk biaya terapinya sendiri. Padahal, sebulan setidaknya empat kali anaknya harus dibawa ke RSDK untuk terapi. “Uang dari mana untuk biaya itu semua? Saya hanya bakul bumbon, keuntungannya cuma cukup buat makan sehari-hari,” keluh Triwiyati.

Setahun ini Putri Septiani dibiarkan tergolek di tempat tidur. Jika Triwiyati jualan di pasar, dia dititipkan pengawasannya pada tetangga. Walau usianya sudah enam tahun, dia tak bisa ke manapun. Jangankan berjalan seperti anak-anak seusianya, menggerakkan tubuh pun Putri Septiani tidak mampu.

"Hanya bisa menangis jika ada sesuatu yang dirasanya kurang nyaman," ucap Ny. Triwiyati, yang merasa menghadapi cobaan hidup tak tahu kapan berakhirnya. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)