Pengamat Media Sosial Enda Nasution

Buzzer Dicari karena Ada yang Butuh

Enda Nasution
Sumber :
  • Twitter

VIVA – Pesatnya kemajuan teknologi membuat publik kini mengenal profesi baru. Media sosial yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pengganti komunikasi tatap muka ikut mencuatkan pilihan profesi baru, buzzer (pendengung) dan influencer (pemberi pengaruh). Dua profesi baru yang kini mulai dikenal publik, selain profesi baru sebagai Youtuber, blogger, vlogger.

Data Center Summit 2024 Soroti Penggunaan Sumber Energi Berkelanjutan

Buzzer dan influencer adalah dua profesi yang semakin sering dibincangkan karena aktivitas mereka di media sosial yang bertujuan mempengaruhi persepsi publik terhadap sebuah persoalan. Melalui tulisan-tulisan mereka, buzzer dan influencer berusaha memenangkan persaingan. Jasa mereka semakin mencuat dalam kontestasi politik era digital. Publik tak semua melek digital dan memiliki literasi yang cukup, sehingga buat mereka buzzer dan influencer sama saja. Bahkan tak sedikit yang memandangnya dengan negatif.

Seorang ekstraordinari blogger, Enda Nasution, dengan tegas membedakan antara buzzer dan influencer. Alumni Institut Teknologi Bandung ini memiliki kriteria untuk membedakan mana buzzer dan mana influencer. Ketika berbincang dengan VIVAnews, Enda mengaku telah memanfaatkan era berkomunikasi dengan media sosial sejak tahun 2004, sejak masih zaman mailing list. Ketika teknologi semakin mencuat dan media sosial semakin beragam, nama Enda menjadi nama yang disebut sebagai pelopor media sosial.

Sepanjang 2023, Pertamina Hulu Rokan Jadi Penghasil Migas Nomor 1 Indonesia

Laki-laki kelahiran 29 Juli 1975 ini, melalui personal blognya menulis dirinya sebagai seorang Startup Founder, Digital Believer, Lifelong Learner, Soul Noisiest Passenger. "Originally from Bandung, Indonesia now spend most of his time in Jakarta," demikian tertulis tentang Enda.

Kepada VIVAnews, Enda bicara banyak hal. Mulai dari perbedaan tegas antara buzzer dan influencer, bagaimana peran kedua profesi ini dalam kontestasi politik semacam pilpres, pileg, dan pilkada. Berapa dana yang mengucur pada influencer dan buzzer yang terlibat, hingga bagaimana mereka mampu tetap eksis. Berikut petikan wawancaranya:

Drone Emprit: Tagar Bea Cukai Terbaik Direspons Netizen Soal Polesan Buzzer

Belakangan ini publik banyak diramaikan dengan istilah buzzer politik. Bagaimana anda menanggapinya?
Kalau menurut saya harus diperjelas dulu penggunaan kata buzzer, karena sekarang ini seolah-olah semua yang mempromosikan sebuah informasi atau orang yang menyebarkan informasi ke suatu ke pihak lain via medsos itu disebut sebagai buzzer. Kalau menurut saya buzzer adalah orang yang mempromosikan suatu informasi dengan menggunakan akun-akun yang identitasnya tidak jelas.

Penggunaan akun yang tidak jelas untuk menyebarkan informasi, berdampak tidak ada konsekuensi terhadap apa yang mereka sebar. Dan tidak ada tanggung jawab juga untuk menyebarkan informasi yang tidak benar. Makanya kemudian banyak informasi yang tidak benar atau hoaks disebarkan lewat buzzer-buzzer ini. Jadi, kebanyakan buzzer digunakan untuk menyebarkan informasi yang mungkin kebenarannya bisa dipertanyakan. 

Kalau identitasnya jelas, dia bukan buzzer?
Orang yang menggunakan akun dengan identitas jelas, pertama, kemungkinan besar dia tidak akan menyebarkan informasi yang sifatnya terus-terusan urusan politik tertentu saja, tapi kan ada urusan pribadinya juga yang ditulisnya di akun-akun mereka sendiri.  Kedua, data yang namanya jelas itu pasti mereka tidak akan seenaknya juga menulis status atau menyebarkan informasi satu pihak. Karena tentu ada konsekuensi balik terhadap dirinya, apakah konsekuensi hukum atau konsekuensi sosial. 

Jadi Anda membedakan menjadi dua kategori?
Iya. Pertama buzzer, yaitu mereka yang menggunakan akun-akun tidak jelas identitasnya. Kedua, influencer atau endorser. Mereka memperlihatkan jelas identitasnya. Karena mereka mempertaruhkan reputasi mereka ketika menyebarkan suatu informasi.

Apa yang membuat istilah buzzer jadi bertendensi negatif?
Nah, kenapa kemudian agak merusak efeknya itu karena buzzer-buzzer ini tidak ada konsekuensi terhadap dirinya. Lalu kemudian dia menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya untuk memenangkan pertarungan medan perang opini di media sosial. Dan itu biasanya motifnya kebanyakan motif ekonom. Ada yang dibayar, ada juga motif ideologis mungkin. Ada juga motifnya karena preferensi pilihan politik pribadi. Artinya, ada juga yang sukarela. Tapi ketika dia dalam posisi tidak jelas identitasnya, maka tingkat tanggung jawabnya jadi rendah. Sehingga dia bisa seenaknya mem-posting informasi yang bisa jadi malah membikin bingung masyarakat, bahkan memecah belah atau memprovokasi. 

Mind ID.

Optimalkan Program TJSL, 3 Bidang Ini Jadi Perhatian MIND ID

Semua pihak diharapkan tetap memiliki komitmen untuk meningkatkan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat.

img_title
VIVA.co.id
17 Mei 2024