Mahal, Harga Obat Diwarnai Kecurangan

Obat Kuat
Sumber :
  • doc Corbis

SURABAYA POST - Dalam sebuah proses industri, bahan baku merupakan salah satu faktor utama di samping faktor penunjang lainnya. Begitu pun dalam skema penentuan harga. Namun, dalam industri farmasi komponen non-bahan baku malah mendominasi pembentukan harga jual.

Logika itulah yang menjadi dasar kecurigaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bila ada kecurangan di perusahaan farmasi untuk menentukan harga obat.

Menurut KPPU, ada temuan tidak wajar dalam struktur pembentuk harga beberapa obat yang beredar di pasaran. “Berdasarkan kajian kami terhadap perkara ini, ada yang yang tidak wajar dalam struktur pembentuk harga obat-obatan di Indonesia,” ujar Komisioner KPPU, Ahmad Ramadhan Siregar, ujarnya akhir pekan lalu.

Ketidakwajaran tersebut, terletak pada persentase biaya distribusi dan promosi yang berkisar 50%-90% dari total biaya produksi.Persentase tersebut, sangat tidak wajar dalam sebuah draft komponen harga sebuah komoditi.

Belum lagi, lanjutnya, komponen biaya bahan baku yang harusnya mendominasi, justru hanya berkontribusi sekitar 10%-30% saja dalam pembentukan harga jual eceran.

“Sebut saja biaya produksi untuk jenis obat A total Rp 5.000. Ternyata biaya distribusi dan promosi untuk obat ini diasumsikan mencapai Rp 4.000. Sedang biaya bahan bakunya hanya Rp 1.000. Bahkan dalam temuan kami di lapangan ada jenis obat yang biaya bahan bakunya tidak sampai 8% dari biaya produksi. Ini jelas tidak wajar,” jelasnya.

Dalam hal ini, seluruh stakeholder dunia obat tanah air seperti perusahaan farmasi, perusahaan besar farmasi (PBF) dan dokter serta pihak apotik dimungkinkan turut terlibat dalam penentuan harga tidak wajar tersebut. Permasalahan ini ditengarai menjadi akar permasalahan masih mahalnya harga obat di pasaran.

“Dengan begini, simpulan sementara KPPU ada hak konsumen yang terampas dalam mendapatkan akses harga murah terhadap obat-obatan di pasaran. Ini harus segera diklarifikasi dan memang kalau kemudian terbukti ada kesalahan harus segera dibenahi,” jelasnya.

Secara terpisah, Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP)Farmasi Jawa Timur, Jarwoto menolak tudingan itu. “Itu sudah ditentukan dari pusat melalui keputusan Menteri Kesehatan. Kalau mau mempertanyakan komponen harga bentukannya, ya tanya ke Menteri Kesehatan. Jangan ke kami,” ujarnya.

Kewenangan perusahaan farmasi,lanjutnya, hanyalah memproduksi obat dan menjualnya melalui kerjasama dengan dokter dan apotik sesuai dengan harga yang telah ditentukan. Dengan penentuannya melalui Menteri Kesahatan, Jarwoto merasa persentase komponen biaya yang ada tidak perlu lagi dipertanyakan karena telah melalui otoritas tertinggi di bidang kesehatan tanah air. “Lha masak perhitungannya Menteri saja masih diragukan, lalu kami disuruh harus ngikut perhitungannya siapa lagi,” keluhnya.

Selain itu, Jarwoto juga menyayangkan sikap KPPU yang tidak  terlebih dulu melakukan pembicaraan dengan pihaknya. “Saya tak pernah ada panggilan untuk dimintai klarifikasi. Harusnya kalau mengacunya pada solusi, kami harusnya didatangkan untuk dimintai keterangan,” tukasnya.

Menurutnya, dengan memanggil GP Farmasi Jatim, KPPU nantinya akan paham bahwa kondisi di lapangan tidak seperti yang dibayangkannya. Dikatakannya, penjualan obat di apotik dan berbagai supermarket selalu akan dilengkapi dengan daftar harga yang membuat harga penjualan seragam untuk seluruh daerah dan terkontrol dari pusat.

“Jadi tidak mungkin kita mainkan. Harusnya KPPU lebih jeli. Dalam konteks ini, jumlah pengusaha farmasi di Jatim yang mencapai 38 pemain dengan sendirinya sudah menjawab bahwa tidak ada praktik kartel di komoditi ini,” tegasnya.

Laporan: Taufan Sukma

Ini 3 Fitur Favorit Pengguna Galaxy AI
Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Sukabumi Yudha Sukmagara

Gerindra soal Nama Omesh Masuk Bursa Calon Kepala Daerah Sukabumi

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra Kabupaten Sukabumi, Yudha Sukmagara belum bisa memastikan Ananda Omesh masuk dalam bursa cabup Sukabumi.

img_title
VIVA.co.id
1 Mei 2024