Kementerian ESDM Akui Ada Transaksi Neraca Batu Bara yang Tak Terlapor

Terminal batu bara Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

VIVA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklarifikasi penyebab munculnya indikasi kerugian negara yang dialami pemerintah sebesar triliunan rupiah akibat tidak tercatatnya laporan transaksi perdagangan batu bara ekspor pada periode 2006 hingga 2016.

Tudingan kerugian itu dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch atau ICW yang menyatakan bahwa sepanjang periode 2006-2016 ditemukan indikasi transaksi tak tercatat batu bara ekspor sebesar US$27,06 miliar atau setara dengan Rp365,2 triliun. Akibatnya, indikasi kerugian negara diperkirakan sebesar Rp133,6 triliun.

Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM, Johnson Pakpahan mengakui, memang tidak terlapornya transaksi pada periode itu terjadi akibat perusahaan tambang ekspor batu bara melakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak melalui perbankan maupun pos.

Profil Putri Isnari, Pedangdut yang Dilamar Anak Pengusaha dengan Uang Panai Rp2 M

"Itu jadi tidak tercatat dan tidak ada buktinya sebagai data di pemerintahan. Tapi itu sebenarnya masuk ke kas negara, tapi saat datang, kita enggak bisa kasih liat buktinya dan perusahaan itu tidak serahkan secara keseluruhan ke Minerba. Jadi itu masalah administrasi," katanya dalam diskusi di Hotel Aryaduta Gambir, Jakarta, Kamis 28 Februari 2019.

Meski demikian, dia menegaskan, secara spesifik, data tersebut tidak menyebabkan kerugian negara yang besar sebagaimana yang disampaikan ICW. Ditegaskannya, secara kumulatif hingga 2016 pemerintah masih mampu mengumpulkan penerimaan mencapai Rp116,59 triliun.

Potret Putri Isnari yang Geger Dilamar Anak Pengusaha Batu Bara

Meski begitu, dia membantah bahwa pemerintah mengalami perbedaan pencatatan neraca batu bara dengan negara pembeli sebagaimana yang diduga ICW pada periode 2006 sampai 2016 itu. Di mana di 2016 selisih dari perbedaan nilai ekspor batu bara tersebut mencapai US$17,19 miliar karena pencatat pemerintah menggunakan metode Free on Board (FOB), sementara negara penerima menggunakan metode Cost Insurance and Freight (CIF).

"Tapi kan itu mereka jelaskan selisih antara CIF dengan FOB, makanya saya bilang selisih CIF dan FOB tidak bisa menjadi suatu indikasi. Memang di negara kita sistemnya FOB kalau di negara sana karena kita harus kirim dengan transport dan insuransce jadi tambah. Nah selisih itu yang menjadi perbedaan itu," ungkapnya.

Indika Energy Cetak Laba Bersih 2023 US$119,7 Juta

Karenanya, kata dia, perbedaan selisih pencatatan neraca batu bara itu tidak bisa dijadikan indikator bahwa Indonesia mengalami kerugian negara. Lantaran pencatatan CIF yang dilakukan negara pengimpor memasukkan unsur biaya transportasi dan asuransi yang menyebabkan pertambahan nilai dari transaksi ekspor batu bara tersebut.

"Oleh karena itu saya bilang itu tidak bisa dihitung sebagai kerugian negara karena memang beda. Itu yang saya bilang tadi, yang disampaikan ICW kalau misalnya itu ada riil potensi kerugian negara betul-betul bisa kita tindak lanjuti, tentu akan kami tindaklanjuti," kata dia.

Arsip foto - Petugas PLN melakukan pengecekan terhadap biomassa yang berasal dari serbuk kayu untuk digunakan sebagai substitusi bahan bakar batu bara atau (co-firing) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten.

Songsong Era PLTN, BRIN Garap Riset Konversi Pembangkit Listrik Batu Bara Menjadi Nuklir

BRIN ikut terlibat dalam transisi energi fosil ke energi baru terbarukan di Indonesia melalui studi konversi pembangkit listrik batu bara menjadi nuklir.

img_title
VIVA.co.id
29 April 2024