RUU Cipta Kerja Permudah Sertifikasi Produk Halal

Ilustrasi produk dan logo halal.
Sumber :
  • Official MIHAS

VIVA – Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) akan segera disahkan tahun ini. Selain menyederhanakan dan mempercepat percepatan proses perizinan usaha di Indonesia, aturan ini dinilai juga memperluas lembaga pemeriksa produk halal. 

Luncurkan Ansor Go Green di Pantai Bangsring, Gus Addin Beberkan Alasannya

Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PAN, M Ali Taher, mengungkapkan dalam Omnibus Law ini pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri. Hal ini akan mempercepat proses serifikasi halal yang dilakukan untuk produk-produk dalam negeri.

“Sekarang baik NU dan Muhammadiyah bisa membuat sertifikasi Halal. UU ini dibuat untuk kemaslahatan orang banyak," ujar Ali dikutip dari keterangannya, Jumat 2 Oktober 2020.

Hari Ini 172 Kampus Muhammadiyah Serentak Gelar Aksi Bela Palestina dan Kutuk Israel

Baca juga: Bantuan Gaji Rp600 Ribu Tahap V Cair Pekan ini ke 618.588 Pekerja

Selain itu menurut dia, pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Karena, sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah. 

Kemenag Berikan Akselerasi Sertifikasi Halal di Tiga Ribu Desa Wisata

Berbagai instrumen kemudahan untuk UMKM dalam pemberian sertifikasi halal itu sudah melalui banyak proses. Termasuk pendapat dari berbagai elemen yang disampaikan sejak beberapa bulan lalu. 

Di antaranya, dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah yang menyampaikan sejumlah poin pikiran terkait RUU Ciptaker itu  khususnya di sektor perizinan berusaha bidang keagamaan, yang disebut juga Jaminan Produk Halal (JPH).

Menurutnya, PBNU dan Muhammadiyah mendukung desentralisasi sertifikasi halal, atau desentralisasi penetapan kehalalan suatu produk. Tetapi, penetapan halal itu harus dilakukan oleh lembaga-lembaga kredibel, yang kiprahnya sudah terbukti dan mempunyai kapasitas mengeluarkan pendapat keagamaan.

“Apakah hal itu tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum? Tidak sama sekali. Penetapan halal adalah keputusan profesional sebuah lembaga yang tidak bisa dicampuri lembaga yang lain,” ungkap Ali.

Dengan aturan ini, pengurusan sertifikasi halal juga tidak dilakukan berbelit-belit. Sebab,  sebelumnya dikhawatirkan akan merepotkan usaha-usaha kecil seperti pedagang gorengan hingga pengusaha warteg.

“Itu juga yang menyebabkan adanya afirmasi kepada pengusaha kecil dan mikro yang diperlukan berbeda dengan usaha menengah dan besar,” tambah M. Ali Taher.

Ali menjabarkan, dalam pengurusan Jaminan Produk Halal (JPH), usaha kecil dan mikro dalam sertifikasi halal cukup dengan membuat pernyataan kehalalan barang yang diproduksi. Syarat itu saja sudah cukup untuk diberi sertifikat halal.

Seperti diketahui, ketentuan soal halal diatur dalam Pasal 49 RUU Cipta Kerja. Pasal ini berisi revisi atas beberapa pasal di RUU Jaminan Produk Halal (JPH). Di antaranya, menghapus kewenangan tunggal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan produk halal. 

Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. Itu tertulis di angka 10, Pasal 49 RUU Ciptaker.

RUU ini pun disusun berdasarkan revisi atas 79 UU yang sudah ada. Ada ketentuan UU yang dihapus, diedit, atau ditambahkan dari 79 UU itu di Omnibus Law Cipta Kerja. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya