Harga Jual Listrik dari Tenaga Sampah Dianggap Kemahalan

Petugas melakukan uji coba mesin Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Solo, Jawa Tengah, Kamis, 14 Februari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Harga jual listrik yang dihasilkan dari  Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), saat ini dianggap masih terlalu mahal sehingga bisa merugikan PLN sebagai pembeli. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, perlu adanya regulasi baru agar upaya pengurangan sampah perkotaan tidak membebani PLN.

Songsong Era PLTN, BRIN Garap Riset Konversi Pembangkit Listrik Batu Bara Menjadi Nuklir

Dia mencontohkan, pembangkit PLTSa Benowo di Surabaya membutuhkan investasi sebesar US$50 juta, dengan kapasitas 10 MW. Sementara PLTSa Jakarta butuh investasi mencapai US$345,8 juta, dengan kapasitas pembangkit 38 MW.

"Nilai investasi yang besar tersebut membuat PLN harus membeli listrik sebesar 13,35 sen per kwh," kata Mamit dalam keterangan tertulisnya, Jumat 25 Juni 2021.

Jokowi Minta PM Singapura Dukung Pembangunan Pembangkit Listrik di IKN Nusantara

Baca juga: Polri Gandeng Hongkong Cari Pemilik Akun Kotz soal Data Penduduk Bocor

Mamit menegaskan, dengan tarif per kWh yang begitu mahal, maka hal itu tentunya akan memberatkan PLN.

Jawaban Tak Terduga Seorang Anak saat Ditanya Alasan Tak Ingin Punya Adik, Takut Global Warming

"Apalagi sebenarnya PLN masih memiliki pilihan energi primer lain, yang tarifnya lebih rendah dibandingkan PLTSa," ujarnya.

Dia menjelaskan, perlu adanya insentif tersendiri bagi PLN dalam membeli listrik yang dihasilkan oleh PLTSa, sehingga tidak memberatkan PLN karena sebenarnya saat ini produksi listrik masih cukup berlimpah.

"Bentuk insentif yang bisa diberikan bisa berupa dana kompensasi atau subsidi kepada PLN terkait pembelian harga PLTSa tersebut," kata Mamit.

Selain itu, Mamit juga menyoroti soal biaya pembangunan PLTSa yang dibebankan ke daerah, yang menurutnya akan cukup memberatkan bagi setiap pemerintah daerah. Sehingga, pemerintah daerah harus menggandeng pihak swasta dalam rangka membangun PLTSa tersebut.

Tapi hal itu menurut Mamit masih menyisakan pertanyaan, terkait apakah mekanisme itu sudah mencapai nilai keekonomian dari biaya untuk pembangunan dengan nilai beli oleh PLN-nya. Apalagi jika Pemda menggandeng pihak swasta, maka perhitungan mereka akan lebih hati-hati lagi.

"Kecuali memang pemda membentuk BUMD yang mengelola PLTSa sendiri. Perlu adanya insentif lebih kepada Pemda di mana bantuan saat ini sebesar Rp 500.000 per ton di nilai belum cukup dan memadai," ujar Mamit.

Karena itu, Mamit menekankan perlunya dibuat kembali aturan turunan dari Perpres 35/2018, sehingga bisa mengatur dari sisi lebih teknis dan juga pembiayaan agar bisa berjalan optimal. Sebab, PLTSa ini membutuhkan dukungan semua pihak, mengingat ada dua potensi yang didapatkan yaitu pengelolaan sampah menjadi lebih baik, dan menghasilkan listrik dari sampah tersebut.

"Tanpa ada dukungan dari pusat, Pemda sepertinya berhati-hati dalam menjalankan pembangunan PLTSa tersebut mengingat investasinya sangat besar, tetapi listrik yang dihasilkan kurang signifikan," ujarnya.

Diketahui, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, harga pembelian listrik oleh PLN dari PLTSa untuk kapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW) ditetapkan sebesar 13,35 sen dolar AS per kWh, sedangkan kapasitas di atas atas 20 MW ditetapkan 11,8 sen dolar AS per kWh.

Karena PLN membeli listrik dari PLTSa sebesar 13,35 sen dolar AS per per kWh, maka apabila dikonversikan ke mata uang rupiah dengan asumsi kurs Rp14.400 per US$, maka harga beli listrik dari PLTSa yakni senilai Rp1.922,4 per kWh. Harga tersebut di atas rata-rata Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN, dimana pada APBN 2021 BPP ditetapkan Rp355,58 triliun atau rata-rata sebesar Rp1.334,4 per kWh.  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya