OJK Tegaskan Pinjol Ilegal Perburuk Citra Industri Fintech RI

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank OJK, Riswinandi.
Sumber :
  • Tangkapan layar.

VIVA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa fenomena fintech peer to peer (P2P) lending ilegal, atau yang kerap disebut pinjol ilegal, sudah sangat meresahkan.

BI Catat Modal Asing Kabur dari RI Pekan Keempat April Capai Rp 2,47 Triliun

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank OJK, Riswinandi menegaskan, keberadaan pinjol ilegal itu harus segera dibasmi. Karena telah mencoreng berbagai capaian positif di industri fintech Tanah Air.

"Jika diibaratkan, mungkin seperti kata pepatah yang berbunyi 'gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga'," kata Riswinandi dalam telekonferensi, Selasa 9 November 2021.

DPR Tolak Iuran Pariwisata Dibebankan ke Industri Penerbangan, Tiket Pesawat Bisa Makin Mahal

Baca juga: Mengintip Opsi Garuda Indonesia Cari Cuan Fokus Penerbangan Domestik

Riswinandi mengaku bahwa akibat dari banyaknya pemain pinjol ilegal ini, maka citra industri fintech peer to peer lending di Indonesia sampai saat ini tentunya juga cukup terganggu. Padahal dengan segala keunggulannya, dia menilai jika industri ini di Indonesia sebetulnya memiliki potensi yang sangat besar.

Rupiah Melemah, Sri Mulyani Beberkan Mata Uang Negara-negara G20 Kondisinya Senasib

"Termasuk juga dalam hal untuk membantu masyarakat, yang berupaya memenuhi kebutuhan finansialnya secara cepat dan menjangkau kepada seluruh pihak," ujar Riswandi.

Pengungkapan jaringan pinjaman online atau pinjol Ilegal (foto ilustrasi).

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Apalagi, lanjut Riswinandi, industri fintech P2P lending di Indonesia sampai saat ini juga telah memiliki keunggulan dan daya saing yang masih lebih baik. Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Thailand dan Filipina.

Hal itu bisa terjadi, terutama karena dalam operasionalnya P2P lending di Indonesia mampu melakukan akuisisi kepada pelanggan secara cepat, dan tanpa tatap muka (online).

"Serta mampu melakukan assessment (penilaian) risiko dengan dukungan teknologi mesin cerdas, atau yang biasa kita sebut Artificial Intelligence (AI)," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya