Warga Kalibata City Gugat Pengelola ke Pengadilan

Kuasa hukum warga Kalibata City, Syamsul Munir
Sumber :
  • VIVA/Anwar Sadat

VIVA.co.id – Sejumlah penghuni Apartemen Kalibata City mengajukan gugatan terhadap PT Pradani Sukses Abadi selaku pengembang, PT Prima Buana Internusa selaku operator, dan Badan Pengelola Kalibata City ke PN Jakarta Selatan.

Sindikat Perdagangan Orang di Apartemen Kalibata Terbongkar, Raup Rp 15 Juta Sekali Transaksi

Gugatan ini tekait dugaan adanya mark-up iuran listrik dan air yang dilakukan sejak 2014 lalu dan tidak adanya transparansi dalam penarikan iuran tersebut. Gugatan ini sudah didaftarkan sejak bulan Mei 2017.

Saat ini, gugatan tersebut sudah memasuki sidang keempat, dengan agenda pembacaan replik. Setelah sebelumnya tergugat, yakni pengelola apartemen membacakan jawaban atas gugatan warga.

Ledakan Buat Geger Penghuni Kalibata City, Ternyata Ini Penyebabnya

"Sidang sudah yang keempat, karena kami masukan gugatan sudah dari bulan Mei, sempat mediasi tetapi deadlock, dan akhirnya dilanjutkan sidang," kata kuasa hukum warga Kalibata City, Syamsul Munir usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 14 Agustus 2017.

Dalam sidang yang beragendakan replik ini, Syamsul mengatakan, pihaknya membantah semua sangkalan yang dibacakan pengelola pada sidang sebelumnya. Salah satunya yakni pernyataan pengelola yang menyatakan gugatan prematur, dan keliru karena seharusnya menggugat terkait wan prestasi bukan gugatan perbuatan melawan hukum.

Pohon Tumbang Menimpa 7 Mobil di Parkiran Apartemen Kalibata City

"Kita bantah, ini jelas perbuatan melawan hukum karena ada kenaikan listrik sepihak yang ditetapkan oleh tergugat yang dibebankan kepada penggugat," ujarnya.

Menurut Syamsul, berdasarkan Undang-Undang ketenagalistrikan, untuk menarik dana listrik, pengelola harus memiliki IUPTL (Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik), sedangkan untuk mengelola air, pengelola juga harus memiliki SPAM (Surat Pengelola Air Minum).

"Undang-undang menyebutkan begitu, tetapi kita lihat Pengelola Kalibata City tidak memiliki surat-surat itu semua, dan karena itulah, ini gugatannya bukan wan prestasi," ujarnya

Selain itu, hal lainnya yang memperjelas adanya perbuatan melawan hukum, yakni setiap kali warga menanyakan selisih harga listrik yang ditetapkan dengan harga yang semestinya dibayar, pengelola menjawab, dana tersebut dialihkan ke Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).

Sedangkan menurut Syamsul PPPRS di Apartemen Kalibata, sampai saat ini dikatakan ilegal karena tak memiliki SK (Surat Keputusan) dari Gubernur DKI. Padahal menurut Syamsul, berdasarkan undang-undang, setiap PPPRS harus memiliki SK Gubernur.

"Selisih harga yang dibayarkan itu katanya masuk ke PPRS, nah PPRS-nya saja Ilegal, jadi disitulah unsur pelanggaran perbuatan melawan hukum terpenuhi," ujarnya.

Dalam Gugatan ini, terdaftar sebanyak 13 orang yang menjadi penggugat. Mereka merasa dirugikan dengan adanya mark up iuran listrik dan air sebanyak Rp1,7 juta per unit atau Rp24 miliar secara keseluruhan.

Atas hal tersebut, dalam gugatannya warga menuntut agar pihak tergugat  membayar Rp23.176.492 kepada 13 warga penggugat sebagai kerugian biaya tinggal selama ini. Sedangkan untuk ganti rugi immateriil, tergugat diminta membayar Rp1 miliar kepada masing-masing penggugat sehingga totalnya Rp13 miliar.

Ada Intimidasi

Dalam perjuangannya mendapatkan keadilan, ternyata warga Kalibata City sempat mendapatkan beberapa kali intimidasi. Syamsul Munir, mengatakan, salah satu tindakan intimidasi yang pernah didapat oleh kliennya yakni pada Januari 2017 lalu.

"Intimidasi pernah ya, Jadi waktu itu warga menyuarakan terkait IPL (Iuran Pemeliharaan Lingkungan), mereka lakukan aksi damai, tetapi pengelola malah mendatangkan banyak petugas keamanan, sebagian besar keamanan itu berasal dari luar Kalibata City. Kita ingin aksi damai tapi dibalas kaya gitu," kata Syamsul.

Syamsul menambahkan, petugas keamanan yang jumlahnya sangat banyak tersebut juga melakukan kekerasan kepada warga. Ia menyebut ada salah seorang wanita paruh baya yang didorong oleh keamanan sekitar karena menyuarakan protesnya tersebut.

"Ada satu warga, bernama ibu Grace yang waktu itu sempat didorong sehingga terluka-luka. Jadi mereka membubarkan secara paksa," ujarnya.

Selain itu, Syamsul juga mengatakan, setiap ada aksi yang dilakukan oleh warga untuk menuntut keadilan, pengelola selalu meresponnya dengan respon yang negatif.  "Mengerahkan keamanan, mendorong (warga), dan mengejar-ngejar," ujarnya. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya