Tiga Syarat Perppu KPK Bisa Diterbitkan

Ilustrasi aksi tolak revisi UU KPK
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVAnews - Persoalan Peraturan Pengganti Undang-undang atau Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi masih jadi polemik di masyarakat.

Prabowo Pernah Bilang Demokrasi Sangat Melelahkan, Bamsoet Dorong Penyempurnaan UU Pemilu

Pakar Hukum Konstitusi Universitas Narotama Surabaya, Moh. Saleh mengingatkan bahwa undang-undang sebagai produk DPR, selaku pemegang kekuasaan legislatif hanya dapat dilakukan peninjauan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution dan wujud pelaksanaan dari supremasi konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

“Atas dasar argumentasi inilah, maka Perppu tidak dapat dijadikan instrumen hukum untuk mereview materi muatan dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK,” kata Saleh kepada VIVAnews, Minggu 12 Oktober 2019.

Dewas KPK Ungkap Penyalahgunaan Wewenang Nurul Ghufron: Diminta Mutasi PNS Kementan ke Jawa

Saleh menuturkan, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif untuk membentuk Perppu hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Karena itu, syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa ini merupakan objective wording dan menjadi batasan bagi kekuasaan presiden untuk membentuk Perppu.

“Objective wording ini kemudian diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009,” tegas dia.

Ketua DPRD Jambi Edi Purwanto: Kami Siap Berantas Korupsi

Dalam putusan itu, kata dia, pada paragraf 3.10 disebutkan bahwa Perppu diperlukan apabila adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat  berdasarkan undang-undang.

Kemudian, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Lalu, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut, perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Tiga syarat di atas merupakan syarat kumulatif. Artinya, Presiden baru dapat memberlakukan Perppu jika telah memenuhi semua tiga syarat tersebut,” katanya.

Saleh melanjutkan, syarat kumulatif ini dipertegas pada paragraf 3.11 dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam hal Presiden akan memberlakukan Perppu, maka materi muatan Perppu tersebut bukan untuk mengubah atau menghapus sebagian materi muatan dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, tetapi untuk mengisi kekosongan hukum yang belum diatur atau belum memadai diatur dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK.

Misalnya, pengaturan terkait dengan ketentuan peralihan bagi calon Komisoner KPK yang belum berumur 50 tahun pada saat proses pemilihan sesuai dengan Pasal 29 huruf e rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK.

Dalam hal materi muatan Perppu mereview materi muatan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, baik dalam bentuk mengubah atau menghapus sebagian atau bahkan mencabut berlakunya Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, maka kedudukan Perppu tersebut adalah inkonstitusional, karena hal ini secara tidak langsung menjadi executive review terhadap undang-undang, yang secara konstitusional hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Berlakunya Perppu inkonstitusional tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme constitutional review atau ditolak oleh DPR dalam mekanisme legislative review,” ujarnya.

Untuk mencegah adanya preseden buruk dalam pembentukan Perppu, tambahnya, maka kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, sebaiknya diajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi atau dilakukan perubahan melalui tahapan dan prosedur pembentukan undang-undang di DPR. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya