Klarifikasi Batalkan Haji 2020 Menag Malah Disebut Makin Gagal Paham

Penyelenggaraan Ibadah Haji
Sumber :
  • Darmawan/MCH2019

VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat merespon klarifikasi Menteri Agama Fachrul Razi, terkait keputusan membatalkan Haji 2020 lantaran pandemi Covid-19. Meski sudah mengklarifikasi, bagi anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf, justru menteri yang gagal paham.

Menggenggam Kilau Emas, Kisah Inspiratif Yoki Hardian Tenggara

Karena menurut dia, terdapat banyak kekeliruan dari empat poin penting klarifikasi menteri yang perlu diluruskan soal keputusannya membatalkan haji.

Poin pertama, kata Bukhori, keputusan pembatalan haji ternyata bukan atas perintah Presiden Jokowi tetapi setelah koordinasi dengan Kemenkum HAM. Bukhori menganggap apa yang disampaikan oleh Fachrul justru bertentangan dengan berita yang beredar di media. Selain itu, menteri juga dinilai menyalahi wewenang dan merendahkan jabatan Kepala Negara.

Ketua DPW PPP se-Indonesia Solid Hadapi Pilkada 2024, Mardiono: Kita Bangkit Kembali

"Secara yuridis, pembatalan dan pemberangkatan haji seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara DPR RI dengan pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Sebab, hal ini sudah diatur di Pasal 36 dan 47 UU No.8 tahun 2019. Jadi, bukan dengan pihak luar (Kemenkum HAM)," kata Bukhori di Jakarta, Rabu 10 Juni 2020.

Menurutnya, langkah meminta pendapat hukum ke Kemenkum HAM juga tidak tepat dan tidak benar. Mengingat tugas Kemenkum HAM adalah menerima harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bawah UU, seperti keputusan menteri.

Cegah Informasi Simpang Siur, Jemaah Haji Diimbau Tak Bagikan Kabar Tidak Benar di Media Sosial

"Apakah Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 494 tahun 2020 sebelum diterbitkan sudah diharmonisasi oleh Kemenkum HAM?" katanya.

Poin kedua, yakni terkait langkah Menteri Agama bersurat kepada pemerintah Arab Saudi untuk meminta agar tidak menerbitkan visa undangan (mujamalah) atau visa mandiri (furada). Bukhori menilai langkah tersebut tidak lazim, dan seolah ikut campur terhadap urusan negara lain. Ia memandang bahwa kebijakan penerbitan visa adalah kewenangan pemerintah Arab Saudi sehingga pemerintah Indonesia tidak bisa memaksakan kehendaknya.

"Jika mengacu pada UU No. 8 tahun 2019 Pasal 82 ayat (2) huruf (e) disebutkan bahwa jamaah haji yang menggunakan visa haji mujamalah undangan pemerintah Arab Saudi cukup melaporkan penyelenggaraan ibadah haji khusus kepada menteri. Tidak perlu kemudian pemerintah Indonesia sampai bersurat ke pemerintah Arab Saudi. Silakan dibaca kembali undang-undangnya," jelasnya.

Poin ketiga, terkait dengan dana haji yang diklaim aman dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Bukhori mencermati bahwa dengan terbitnya KMA No. 494 Tahun 2020, justru secara substansi melampaui kewenangan Kementerian Agama. Pertama, di dalam KMA diatur kewenangan BPKH dan mengubah mekanisme pengadaaan barang dan jasa yang jelas sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait.

Poin keempat, terkait bantahan Menteri Agama terhadap pihak yang menilai keputusannya membatalkan haji dilakukan terburu-buru. Bukhori justru memandang sanggahan Menteri Agama tersebut semakin memperkuat indikasi bahwa pemerintah gagal paham, terkait prosedur pemberangkatan dan pembatalan jemaah haji yang sudah diatur oleh undang-undang.

"Keputusan pemberangkatan atau pembatalan keberangkatan jemaah haji itu harus sesuai UU. Dalam proses pemberangkatan jemaah haji itu harus ada kesepakatan antara Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah (Kemenag). Pertanyaannya adalah, apakah kesepakatan antara DPR RI dengan Kementerian Agama juga batal?" ujar politisi PKS ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya