Jaksa KPK Desak Majelis Hakim Tolak Nota Keberatan Lukas Enembe

Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe jalani sidang dakwaan
Sumber :
  • VIVA/Zendy Pradana

Jakarta – Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, untuk menolak eksepsi atau nota keberatan, yang telah diajukan terdakwa Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe

KPK Ngaku Ada Pihak yang Menghambat Kasus TPPU Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba

Jaksa KPK Wawan Yunarwanto, merasa nota keberatan atau eksepsi yang telah diajukan Lukas Enembe bersama dengan tim penasihat hukumnya, itu merupakan sebuah pokok perkara yang harus dibuktikan dalam kasus korupsi di Provinsi Papua.

"Penuntut memberikan tanggapan sebagai berikut, bahwa terhadap keberatan terdakwa dan penasihat hukumnya tersebut sudah termasuk pokok materi perkara yang harus dibuktikan di persidangan," ujar jaksa di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 22 Juni 2023.

Kata Pimpinan KPK soal Jaksa Bakal Hadirkan Pengacara Febri Diansyah di Sidang SYL

"Apakah terdakwa benar sebagai pelaku penerima suap dan gratifikasi. Apakah uang tersebut milik terdakwa atau bukan. Apakah terdakwa terlibat dalam pengurusan tender atau proyek pekerjaan. Kesemuanya itu sudah masuk dalam pokok materi perkara," lanjutnya.

Kemudian, Jaksa KPK juga menyoroti atas keberatan dari Lukas Enembe. Lukas sempat menyebutkan alasan kesehatan dan pernah 8 kali meraih predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Eks Anak Buah SYL Ungkap BPK Minta Uang Terbitkan WTP Kementan, KPK Diminta Lakukan Ini

"Kemudian terkait alasan terdakwa serta 8 kali terdakwa menerima predikat WTP dari BPK sebagaimana yang telah kami urai di atas, di luar ketiga permasalahan (pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan harus dibatalkan tersebut) bukanlah materi keberatan atau eksepsi," kata jaksa.

"Sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat 1 KUHP, maka demikian cukup beralasan untuk menyatakan seluruh materi keberatan eksepsi terdakwa dan penasihat hukumnya yang kami rangkum pada poin A, B, C di atas tersebut haruslah ditolak dan dikesampingkan," imbuhnya.

Kemudian, dari hal itu, jaksa langsung meminta kepada majelis hakim untuk menolak nota keberatan atau eksepsi Lukas Enembe dan penasihat hukumnya.

"Majelis hakim yang mulia saudara terdakwa dan penasihat hukum yang kami hormati. Berdasarkan seluruh uraian pendapat atau tanggapan penuntut umum tersebut, maka penuntut umum memberikan kesimpulan bahwa keberatan atau eksepsi penasihat hukum dan terdakwa Lukas Enembe haruslah ditolak dan dikesampingkan," tegas Jaksa.

"Sebab, keberatan atau eksepsi tersebut sudah masuk pokok pembuktian perkara yang timbul akibat ketidak cermatan penasihat hukum," lanjutnya.

Eksepsi Lukas Enembe

Eksepsi yang diajukan oleh Lukas Enembe, turut dibacakan oleh tim penasihat hukumnya, Petrus Bala Pattyona di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada Senin 19 Juni 2023. Dalam eksepsinya, Lukas Enembe menyebutkan bahwa KPK adalah pembunuh.

"Seandainya saya mati, pasti yang membunuh saya adalah KPK, dan saya sebagai kepala adat, akan menyebabkan rakyat Papua menjadi marah dan kecewa berat terhadap KPK," ujar Petrus mewakili Lukas di ruang sidang, Senin 19 Juni 2023.

Lukas menganggap bahwa dirinya telah didzolimi, difitnah, dan dimiskinkan oleh KPK. Pasalnya, kata dia, dirinya tak pernah mencuri uang negara meskipun sudah menjadi tersangka kasus korupsi di KPK.

"Saya Lukas Enembe tidak pernah merampok uang negara, tidak pernah menerima suap, tetapi tetap saja KPK menggiring opini publik seolah-olah saya penjahat besar," kata dia.

Lukas juga merasa kesal karena dirinya pun disebut sebagai penjudi oleh KPK. Bahkan terkait dengan penyakitnya yang dipastikan bukan sebuah kebohongan untuk menghindari kasus korupsi.

"Keadaan sakit saya ini bukanlah kepura-puraan agar saya terhindar dari tuduhan korupsi, suatu tindakan yang tidak benar,yang tidak pernah saya lakukan,tetapi sakit saya yang kini sudah komplikasi telah terjadi sejak lima tahun yang lalu sebelum KPK mulai mencari-cari kesalahan saya pada Juli 2022," jelasnya.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara resmi akhirnya mendakwa Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe dengan nilai Rp 46,8 miliar terkait dengan suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Jaksa menilai bahwa perilaku Lukas sudah menjadi hal yang bertentangan sebagai penyelenggara negara.

"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji," ujar jaksa penuntut umum (JPU) KPK di ruang sidang di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Senin 19 Juni 2023.

Di perkara suap, Lukas Enembe telah menerima uang sebanyak Rp 45,8 miliar. Dari puluhan miliar itu, dirincikan sebanyak Rp10,4 miliar berasal dari PT Melonesia Mulia, Piton Enumbi. Kemudian, sebesar Rp35,4 miliar diterima dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Rijatono Lakka.

"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata jaksa.

Uang tersebut diberikan kepada Lukas Enembe guna memenangkan perusahaan milik Piton dan Rijatono dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.

Kemudian, Lukas melakukan hal tersebut bersama dengan Kepala Dinas Perumahan Umum (PU) Provinsi Papua periode 2013-2017, Mikael Kambuaya. Lalu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Papua periode 2018-2021.

Dakwaan Gratifikasi Lukas Enembe

Lukas Enembe didakwa sebanyak Rp 1 Miliar dalam kasus gratifikasinya. Uang tersebut didapatkan oleh Lukas dari Direktur PT Indo Papua Budy Sultan melalui Imelda Sun yang dikirim melalui nomer rekening Lukas.

"Bahwa terhadap penerimaan gratifikasi berupa uang tersebut, terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan undang-undang. Padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum," kata jaksa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya