Ketum Muhammadiyah: Korupsi Tak Lagi Individu tapi Kolektif

Ketua Panitia Muktamar Muhammadiyah Haedar Nashir
Sumber :
  • NTARA FOTO/Yusran Uccang
VIVA.co.id - Ketua Umum terpilih Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengingatkan bangsa Indonesia tentang potensi merusak dari perilaku korupsi. Soalnya perbuatan itu kini tak lagi bersifat individual tetapi malah cenderung kolektif atau bersama-sama.

Menurut Haedar, fenomena maraknya korupsi itu sesungguhnya bermula ketika masyarakat menoleransi penyimpangan-penyimpangan kecil, seperti praktik politik uang. Praktik itu kemudian berkembang pada kekuasaan pemerintahan. Semula dilakukan perorangan lalu berkembang menjadi kolektif atau berkelompok.

“Itu menunjukkan ada krisis moral. Itu bukan hanya individu tapi kolektif. Kemudian terjadi proses perluasan (perilaku koruptif),” kata Haedar beberapa saat setelah terpilih sebagai Ketua Umum dalam perbincangan dengan tvOne di arena Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Kamis, 6 Agustus 2015.

Haedar berpendapat, fenomena korupsi bukan berarti tak ada orang baik dan jujur di negeri ini. Banyak orang baik dan berintegritas tinggi serta berdedikasi pada profesinya. Tetapi sejauh ini hal-hal baik itu masih bersifat individual, belum menjadi sikap kolektif masyarakat atau bangsa.

KPK Optimis Praperadilan Mantan Karutan Akan Ditolak Hakim
“Banyak orang baik di negeri ini tapi tidak kolektif,” katanya.

Periksa Dirut PT Taspen Nonaktif, KPK Bocorkan Statusnya Sudah Tersangka
Butuh gerakan bersama untuk memerangi korupsi. Tujuannya bukan cuma mencegah tindakan atau praktik korupsi, melainkan menyadarkan seluruh unsur bangsa Indonesia tentang bahaya besar, yakni kehancuran bangsa dan negara. Gerakan moral itu juga agar kesalehan individual menjadi kebaikan kolektif bangsa Indonesia.

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Resmi Ditahan KPK, Begini Awal Mula Kasus Korupsinya
Haedar mengapresiasi wacana organisasi Pemuda Muhammadiyah agar jenazah koruptor tidak disalatkan. Wacana itu memang terdengar berlebihan. Tetapi makna sesungguhnya di balik wacana itu adalah peringatan kepada bangsa Indonesia bahwa korupsi tak boleh ditoleransi.

“(wacana) itu harus diluaskan untuk memusuhi korupsi. Bukan semata dimensi fikih (hukum Islam),” katanya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya