Mengenal Otok-otok, Alat Sensor Gempa dari Bantul

Warga bantul tengah membuat alat sensor gempa Otok-otok.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Daru Waskita.

VIVA.co.id - Gempa bumi 27 Mei 2006 silam hingga saat ini masih menyisakan trauma yang mendalam bagi masyarakat Bantul, Yogyakarta. Setiap ada gempa meski kecil pasti warga akan berlarian ke luar rumah mencari ruang terbuka dan aman dari bangunan.

Muhammadiyah Siap Kirim Tim Medis Bantu Korban Gempa Turki-Suriah

Melihat kondisi trauma masyarakat yang belum sepenuhnya hilang, Giyanto (37), warga Nogosari, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bersama tujuh rekannya yang tergabung dalam Komunitas Relawan Tanggap Jogja membuat alat sensor gempa.

Alat sensor gempa atau early warning system tersebut diberi nama "Otok-otok", seperti nama mainan anak-anak yang terbuat dari potongan bambu yang jika diputar-putar akan menghasilkan suara otok-otok.

Hari Bakti Transmigrasi, Kemendes Gelar Istighotsah dan Aksi Sosial untuk Gempa Cianjur

"Kalau diberi nama EWS maka asing di telinga masyarakat. Akhirnya kita beri nama Otok-otok agar mudah diingat meski fungsinya sama dengan EWS," katanya, Senin, 12 Desember 2016.

Giyanto menuturkan, bahwa untuk membuat Otok-otok, pada tahun 2010 pasca erupsi Gunung Merapi dia bersama tujuh rekannya turun menjadi relawan di lereng Merapi. Ketika itu, dia sering melihat alat sensor kegempaan yang ada di posko Merapi. Ia pun mengamati cara kerjanya.

Satu Orang Terluka Akibat Gempa Filipina, Tembok-tembok Runtuh

"Saya terpikir membuat sensor gempa namun dengan biaya murah agar setiap warga mampu memilikinya. Dan ketika ada gempa dan tertidur pulas mampu dibangunkan oleh alat sensor gempa tersebut," katanya.

Setelah mengamati cara kerja alat di posko Merapi, Giyanto dan tujuh rekanya lalu merancang sebuah alat sensor gempa. Kegagalan demi kegagalan mewarnai proses pembuatan sensor gempa mereka. Hingga setelah lewat berbagai perbaikan, Giyanto bersama teman-temannya berhasil membuat alat sensor gempa. Alat sensor gempa ini juga telah melewati beberapa simulasi dan berfungsi dengan baik ketika terjadi getaran.

"Awal pembuatan kita berkali-kali gagal. Belum pas ukuran panjang paralon dan diameter besarnya. Tapi ya kegagalan itu tidak membuat kita berhenti," ujar Giyanto.

Bahan-bahan yang mereka gunakan terbilang sangat sederhana dan mudah dicari. Sensor gempa yang diberi nama Otok-otok ini berbahan pipa paralon, senar kawat neklin yang biasa digunakan untuk memancing, skrup, bandul lot tukang bangunan, alarm bel rumah, klem alumunium dan alumunium bekas minuman kaleng.

"Kalau ditotal hanya habis Rp50.000 satu unit, murah, tetapi manfaatnya besar. Bahkan tidak sampai Rp50.000 kalau kita memanfaatkan barang bekas," tuturnya.

Cara Merangkai Otok-otok

Giyanto menjelaskan, cara membuat sensor gempa Otok-otok sangat mudah dan semua orang pasti bisa. Pertama pipa paralon dipotong dengan panjang 60 cm. Di salah satu ujung paralon dilingkari alumunium bekas minuman kaleng lalu dilem agar tidak lepas dan diskrup empat sisinya.

"Alumunium yang melingkar di paralon dan dipasangi empat skrup ini fungsinya untuk menghantarkan listrik," ujarnya.

Selanjutnya, bandul lot tukang bangunan diikat senar kawat neklin dan dimasukan ke dalam paralon. Posisi Bandul di dalam Paralon harus sejajar dengan empat Skrup dibagian bawah. Alarm bel rumah lalu disambungkan dengan senar kawat neklin yang berada di sisi atas paralon. Setelah itu satu lagi kabel dari alarm bel rumah diikatkan dengan empat skrup di bagian bawah.

Nantinya saat terjadi guncangan gempa, bandul di dalam paralon akan bergerak dan menyentuh empat skrup. Lalu alarm bel rumah akan berbunyi. "Disarankan alat ini dipasang 2 meter lebih dari lantai atau di bagian kerangka rumah bagian atas. Sebab kalau di atas, kecil kemungkinan getaran mobil atau truk lewat akan membunyikan alarm itu," katanya.

Selain itu, Giyanto menyarankan agar alarm bel rumah jangan menggunakan listrik, tetapi tenaga baterai. Agar ketika terjadi gempa dan listrik putus alarm masih bisa berfungsi. "Sebaiknya yang pakai baterai. Kalau alarmnya bebas, mainan anak-anak bisa, pesawat telepon bisa, alarm bel rumah bisa, asal suaranya keras biar terdengar," ujarnya.

Giyanto mengaku sudah membuat beberapa unit dan dibagikan kepada warga di Dusun Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Warga pun antusias dengan hadirnya "Otok-otok" ini karena sangat berguna sebagai peringatan. Sehingga saat ini ketika ada guncangan gempa, beberapa rumah warga di dusun Nogosari, akan mengeluarkan suara alarm peringatan dari alat tersebut.

"Kalau gempa dan terjadi pada malam hari, dusun Nogosari akan diwarnai suara alarm dan warga yang tidur pun akan bergegas keluar rumah," ujarnya sambil tersenyum.

Selain sebagai sensor gempa, Otok-otok juga bisa sebagai EWS tanah longsor. Alat itu hanya tinggal di tanam di lokasi potensi longsor dan ketika nantinya tanah bergerak alarm akan berbunyi.

"Untuk EWS tanah longsor bisa, sudah dicoba. Tinggal ditanam saja, kalau tanahnya nanti bergerak alat ini akan berbunyi.”

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya