Respons Para Pemuka Agama soal Fatwa Atribut oleh MUI

Sinterklas Sapa Konsumen SPBU
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Sejumlah pemuka agama di Semarang, Jawa Tengah, menyayangkan munculnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang umat Muslim menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Fatwa tersebut dinilai justru menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Polisi Sweeping Massa Aksi Mau Demo di MK

Menurut pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang, KH Nuril Arifin, mengatakan, fatwa MUI seharusnya hanya dimaknai sebatas lingkup agama. Salah satu dampak fatwa itu yakni munculnya sweeping atau razia liar di sejumlah tempat.

"Fatwa yang dilontarkan justru dijadikan umpan bagi ormas melakukan tindakan yang memaksa orang lain, " kata Nuril dalam acara dialog "Toleransi bukan Diskiminasi" yang diikuti tokoh lintas agama di Semarang, Jawa Tengah pada Selasa, 20 Desember 2016.

Polisi Sweeping Kawasan Manggarai Buntut Tawuran 2 Kali Dalam Sepekan

Ulama yang akrab disapa Gus Nuril itu pun khawatir fatwa MUI justru dijadikan alat komando secara masif untuk mengerahkan massa melakukan sweeping menjelang Natal dan Tahun Baru.

"Jika ini dibiarkan berlarut-larut, malah muncul pergerakan mirip tentara dalam tentara, negara dalam negara, " katanya.

Prajurit Kidang Kencana Siliwangi Sweeping Jalur Trans Papua, Ada Apa?

Secara khusus, ulama kharismatik di Semarang itu meminta agar aparat Kepolisian tidak ragu lagi menindak tegas apabila medapati kelompok tetentu, dengan dalih mengamankan fatwa MUI, melakukan sweeping.  

"Polisi jangan justru malah ikuti-ikutan mengamankan fatwa MUI. Itu fatwa agama secara internal bukan untuk kehidupan bernegara," kata dia lagi.

Sementara Pastor Gereja Paroki Kristus Raja Ungaran, Romo Aloys Budi Purnomo mengaku telah mengimbau kepada umat nasrani untuk tidak terpancing terhadap fenomena imbas fatwa MUI tersebut.

"Umat kami mohon tak terpancing.  Kami hormati keputusan MUI mengeluarkan fatwa itu sambil menjunjung tinggi hukum di Indonesia kita tercinta, " kata Romo Aloys Budi Purnomo.

Romo Budi mengatakan, sejak awal pihak gereja tak pernah memaksakan seseorang terlebih umat beragama lain untuk memakai atribut agama termasuk topi sinterklas yang sebenarnya bukan atribut natal namun atribut tradisi budaya musim dingin dari Barat. Hal serupa juga diterapkan bagi pemilik perusahaan non muslim di Semarang.

"Kami juga tak khawatir ada sweeping. Pada intinya umat beragama bisa hidup rukun dan berdampingan. Maka mari berpikiran positif," katanya.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya