Eks Panitia Amandemen: Pasal 7 UUD 1945 Demi Batasi Kekuasaan

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA - Langkah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Partai Perindo di Mahkamah Konstitusi menuai sorotan publik. Partai pimpinan Hary Tanoesoedibjo itu melakukan permohonan pengujian penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Pakar: Yang Wacanakan Penundaan Pemilu Mungkin Tak Baca UUD 1945

Gugatan Pasal 169 huruf n ini adalah terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden. Di mana menjadi perdebatan, terutama frasa 'belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama'.

Sementara, aturan soal masa jabatan presiden dan wakil presiden ini merujuk pada pasal 7 UUD 1945. Pasal itu berbunyi, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Pengamat: Penundaan Pemilu Harus Patuhi Konstitusi

Menurut mantan Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) periode 1999, Jakob Samuel Halomoan Lumban Tobing atau akrab disapa Jakob Tobing, norma itu memiliki semangat reformasi dan pembatasan kekuasaan. Seperti diketahui, saat itu Indonesia dalam masa kekuasaan rezim Orde Baru yang tidak punya batasan waktu dalam berkuasa.

"Ya kan semangatnya, semangat reformasi, semangat pembatasan kekuasaan, begitulah. Karena sebelumnya kita mengalami, penguasanya yang terus-menerus (memimpin). Itu semangatnya," kata Jakob kepada wartawan, Kamis, 26 Juli 2018.

JK Sebut Penundaan Pemilu Langgar Konstitusi

Jakob mengatakan aturan dalam pasal 7 itu sudah sangat jelas. Selain itu, aturan itu juga bertujuan untuk menciptakan sirkulasi kekuasaan yang teratur.

"Masa jabatannya kan dua kali. Jadi semangat konstitusionalisme itu dan semangat demokrasi itu diatur oleh dalam undang-undang. Adanya sirkulasi kekuasaan secara teratur dan secara demokratis, dan itu dalam kerangka supaya ada pembatasan kekuasaan," ujar pria yang pernah duduk sebagai pimpinan Panitia Ad Hoc I BP-MPR yang melakukan Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2004 ini.

Jakob pun berpendapat aturan itu tidak perlu dipersoalkan lagi. Namun demikian, dia menghormati langkah Perindo dan JK.

"Ya kan bisa jawab sendiri (jelasnya UU). Kan ini boleh nanya ke MK. Itu kan hak warga negara. Jadi kita hormatilah. MK kan punya dasar juga," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya