Logo BBC

Musisi Istana dan Musisi Oposisi, Saat Pemusik Terpolarisasi Politik

Sebagian pemusik Indonesia menjalin hubungan dengan Presiden Joko Widodo, tapi sebagian lainnya memilih kritis dan mendukung aksi turun ke jalan.-AFP
Sebagian pemusik Indonesia menjalin hubungan dengan Presiden Joko Widodo, tapi sebagian lainnya memilih kritis dan mendukung aksi turun ke jalan.-AFP
Sumber :
  • bbc

Seiring timbulnya gejolak sosial yang berkaitan dengan rancangan undang-undang kontroversial dan tuduhan pelemahan KPK, sejumlah musisi mengambil posisi dalam konstelasi politik.

Sebagian pemusik, salah satunya Efek Rumah Kaca (ERK), menilai musisi seharusnya berpihak kepada masyarakat lemah dan korban.

Di sisi lain, sekelompok musisi menjalin hubungan dengan pemerintah meski enggan disebut politis. Namun ada pula anggapan tentang musik yang semestinya tidak berpihak.

Apakah polarisasi ini konsekuensi demokrasi? Dan bagaimana musikus seharusnya menentukan keberpihakan mereka?

Konser musik tiga hari bakal digelar di Cibubur, Jakarta, jelang dan saat pelantikan Joko Widodo menjadi presiden 20 Oktober mendatang.

Pertunjukan itu dimotori beberapa musisi kawakan, seperti Ian Antono dan Achmad Albar dari God Bless serta Romulo Radjadin alias Lilo dari Kla Project.

Dengan tajuk `konser untuk republik`, para musikus itu mengklaim acara mereka digagas untuk meluruhkan polarisasi publik pascapemilihan presiden lalu.

Namun pertemuan mereka dengan Jokowi di Istana Negara, Jakarta, 30 September lalu, mengerenyitkan dahi kelompok musisi lainnya.

Para penggagas konser tiga hari itu dituding tak berempati dengan demonstrasi di berbagai kota bertema #reformasidikorupsi sepanjang September, yang bahkan menewaskan lima pedemo.

"Konser itu tidak berpihak pada yang lemah. Terjadi polemik di masyarakat, banyak korban jatuh, momentum konser itu tidak tepat," kata vokalis ERK, Cholil Mahmud.