Pasal Penghinaan Presiden Disorot, Jubir RKUHP: Tak Batasi Kebebasan Berdemokrasi

ilustrasi aksi Demonstrasi Tolak RKUHP KPK di DPR, beberapa tahun lalu.
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Politik - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan segera disahkan masih disorot sejumlah pihak karena terdapat beberapa pasal yang dinilai krusial. Salah satunya terkait pasal 218 dalam draf RKHUP terkait penghinaan atau penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Galangan Kapal Panji Gumilang Masih Disegel, Alvin Lim Kritik Pemkab Indramayu

Juru Bicara Sosialisasi RKUHP Albert Aries menjelaskan saat ini muncul narasi seolah dalam RKUHP jika mengkritik Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah atau lembaga negara akan langsung dipenjara. Dia perlu meluruskan narasi tersebut.

Menurut dia, Pasal 218 RKUHP terkait penyerangan harkat dan martabat diri Presiden/Wapres sudah diberikan uraian dalam rapat Komisi III DPR dengan pemerintah. Uraian penjelasan yang dimaksud terkait membedakan mana yang kategori kritik dan yang merupakan penghinaan.

Frustasi Angka Kelahiran Rendah, Presiden Korsel Bentuk Kementerian Baru

Jubir Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries

Photo :
  • Istimewa

Pun, demikian dengan Pasal 240 RKUHP tentang Penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. Kata dia,  semua sudah diberikan uraian penjelasan yang lengkap terkait perbedaan kategori kritik dan penghinaan. 

Jokowi Perintahakan Sri Mulyani Jalin Komunikasi dengan Prabowo, Untuk Apa?

Dia mengingatkan dalam konstitusi, menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Namu, sama sekali tak memperbolehkan menghina orang lain. 

Albert menambahkan uraian penjelasan Pasal 218 dan Pasal 240 RKUHP juga diadopsi dari Pasal 6 huruf d UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Maksudnya, kritik dalam Pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

“Jadi, kedua pasal ini sama sekali tak membatasi kebebasan berekspresi dan berdemokrasi. Karena kritik yang disampaikan termasuk dalam unjuk rasa, demonstrasi bukan merupakan tindak pidana. Itulah wujud demokratisasi dan dekolonisasi yang diusung oleh RKUHP," jelas Albert.

Lebih lanjut, dia menambahkan Pasal 218 RKUHP bukan bermaksud hidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang dianulir MK yang merupakan delik biasa. Namun, merujuk pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006 mengenai pengujian pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden.

Kata dia, MK menilai Pasal 207 KUHPidana tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dapat digunakan Presiden/Wapres sebagai delik aduan. Menurutnya, dalam hal penghinaan itu ditujukan ke Presiden/Wapres selaku pejabat.

Dengan demikian, tak akan ada proses hukum selama tak pengaduan dari Presiden/Wapres. Aturan itu juga menutup ruang bagi simpatisan untuk melapor.

Menurut Albert, hal itu sesuai dengan pengaturan penghinaan terhadap kepala negara sahabat. Ia bilang sebagai pemberatan sanksi dari penghinaan terhadap warga negara biasa dan penghinaan terhadap pejabat yang semuanya delik aduan.

Dia menekankan keduanya merupakan pasal lama yang tak pernah dibatalkan MK. Selain itu, memiliki sanksi alternatif berupa pidana denda, sehingga tak serta merta dipidana penjara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya