Logo DW

Pemerintah Diminta Tak Buru-buru Ratifikasi RCEP, Apa Minusnya

picture-alliance/dpa/Imaginechina/Y. Fangping
picture-alliance/dpa/Imaginechina/Y. Fangping
Sumber :
  • dw

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahkan sebelum ditandatanganinya kesepakatan RCEP, neraca perdagangan Indonesia dengan dua negara besar yakni Australia dan China telah defisit.

Sampai dengan September 2020, neraca dagang Indonesia dengan China dan Australia masing-masing defisit senilai 6,6 miliar dolar AS dan 1,5 miliar dolar AS. Apabila ditambah adanya liberalisasi penurunan tarif, defisit perdagangan Indonesia dengan negara mitra RCEP dikhawatirkan akan semakin melebar.

“Selain itu, RCEP menjadi ancaman bagi produk lokal. Sebelum ada RCEP saja produk impor dari Cina banjir, baik di e-commerce maupun melalui perdagangan konvensional,” ujar Bhima kepada DW Indonesia melalui pesan singkat, Senin (16/11).

Usulan berlakukan lebih banyak hambatan nontarif

Untuk mengatasinya, hambatan nontarif dapat dijadikan solusi guna menekan laju impor. Bhima dari INDEF menyebutkan bahwa cara ini lumrah dilakukan oleh negara-negara seperti Cina dan Australia dalam beragam perjanjian perdagangan bebas sebelumnya.

“Kita bisa berikan hambatan misalnya lewat sertifikasi halal, SNI yang lebih ketat untuk produk impor, hingga sertifikasi lingkungan untuk produk tertentu. Ini kreativitas pemerintah untuk menari di atas kesepakatan liberalisasi perdagangan,” lanjut Bhima.

Bhima menegaskan bahwa tidak ada suatu negara pun yang mau terbuka pasar domestiknya begitu saja. “Kalau dilihat dari NTM (tindakan nontarif) Indonesia yang rendah, berarti Indonesia terlalu polos dalam perdagangan internasional. Terlalu naked,” ungkapnya.