Perang Era Digital Sunyi Senyap, Intelijen Harus Adaptif

Ngasiman Djoyonegoro menyerahkan buku Intelijen di Era Digital
Sumber :
  • Dokumen bedah buku Intelijen di Era Digital

VIVA – Dunia digital, kini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Bukan hanya untuk urusan mengakses informasi online saja, dunia digital dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menjalankan aksi tertentu.

Drama Korea The Tyrant yang Penuh Aksi Bakal Tayang Akhir Tahun di Disney+ Hotstar

Kelompok teroris merekrut 'pengantin' lewat media sosial. Perbankan melakukan profiling orang dan perusahaan melalui dukungan digital. Lain lagi, penyebaran hoaks berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang memecah belah masyarakat juga dilakukan dengan dukungan perangkat digital. 

Penulis buku 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional, Ngasiman Djoyonegoro wajah serangan siber yang melanda Indonesia tergolong tinggi. Dia mengatakan, sepanjang 2017 tercatat ada 205.502.159 serangan siber menyerbu pertahanan digital Indonesia. 

Terungkap Alasan Kenapa Israel Tidak Mampu Tekuk Hamas

Serangan ini mulai dari serangan hoaks, peretasan terhadap KPU, peretasan website pemerintah dan BUMN, hingga serangan ransomware yang secara langsung meminta tebusan kepada masyarakat. 

"2017 merupakan tahun perang siber yang luar biasa. Pilkada menggunakan media sosial untuk memproduksi hoaks besar-besaran dan bisa memecah belah masyarakat," ujar Ngasiman dalam bedah buku di Menara Batavia, Rabu 10 Januari 2018. 

Kim Jong-un Penyuka Ham Parma dan Wiski, Semuanya Produk Eropa

Perkembangan digital, menurutnya, juga mengubah pola intelijen yang mau tak mau harus adaptif. Hal ini mengingat perang di era digital yang berlangsung saat ini berada dalam dunia sunyi dan senyap. 

"Jika dulu gerakan-gerakan penyusupan agen intelijen terhadap suatu negara melalui jalur darat, di abad informasi sekarang penyusupan-penyusupan intelijen melalui dunia siber," katanya. 

Tantangan lain untuk intelijen di era digital yakni soal penyusupan melalui peralatan yang dipakai tim intelijen Indonesia. Selain soal hardware atau piranti keras, keberadaan piranti lunak (software) juga patut diwaspadai. Bisa jadi software menjadi alat intelijen dari luar untuk melihat apa yang ada di Indonesia. 

"Dengan teknologi yang ada, nanti bisa antisipasi perang siber. Alat jangan diintervensi pihak luar," katanya. 

Dalam bedah buku tersebut turut hadir Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, Komjen. Pol. Lutfi Lubihanto, pengamat intelijen, Wawan H. Purwanto, Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla RI Irjen. Pol. Abdul Ghofur, Dansatinteltek Bais TNI Brigjen TNI Karmin Suharna, Rektor Perbanas Institute yang juga tenaga ahli Pertahanan Siber Kementerian Pertahanan RI Marsudi Wahyu Kisworo dan Deputi IV Kantor Staf Presiden RI, Eko Sulistyo. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya