Anak Petani dan Pengungsi, tapi Raih Medali Sekelas Nobel Matematika

Caucher Birkar, pengungsi peraih medali sekelas Nobel Matematika
Sumber :
  • Instagram/@portalamnews

VIVA – Seorang pengungsi dari suku Kurdi, Caucher Birkar, yang melarikan diri dari konflik perang Iran dan Irak, menjadi satu dari empat pria matematikawan muda yang memenangkan medali Fields. Medali tersebut dianggap setara dengan nobel di bidang matematika.

Peringatan Hari Otonomi Daerah Nasional, Jaya Negara Menerima Dua Penghargaan

Birkar menjadi salah satu di antara empat pemenang medali tersebut. Selain Birkar, penerima medali ini adalah Akshay Venkatesh, warga Australia yang merupakan akademisi Universitas Princeton dan Stanford, Amerika Serikat; Alessio Figalli dari ETH, Zurich Swiss dan Peter Scholze dari Universitas Bonn, Jerman. 

Medali Fields merupakan penghargaan matematika paling terkenal dan bergengsi untuk saat ini. Pertama kali medali tersebut diberikan pada 1963. Sejak 1950 medali Fields rutin diberikan setiap empat tahun sekali kepada empat matematikawan yang usianya di bawah 40 tahun. 

Ngeri, Ada Ramalan Jayabaya Diduga Sebut Tanda Perang Dunia Ketiga

Selain medali, masing-masing pemenang membawa £8750 atau sekitar Rp147 juta. Untuk tahun ini pemenang medali semuanya pria. Satu-satunya wanita yang meraih medali ini yakni mendiang Maryam Mirzakhani yang meninggal dunia pada tahun lalu pada usia 40 tahun karena kanker. 

Birkar lahir di Marivan, Iran, sebuah kota yang terdampak perang Iran dan Irak pada 1980. Ia belajar matematika di Universitas Teheran dan pindah ke Inggris pada 2000. 

5 Fakta Tersembunyi Hubungan Iran dan Israel, Pernah Seharmonis Ini

Setelah setahun tinggal di Inggris, ia diberikan status pengungsi dan kemudian menjadi warga negara Inggris dan meneruskan studi doktornya di Negeri Ratu Elizabeth II tersebut. 

"Ketika saya di sekolah itu adalah masa yang kacau. Ada perang antara Iran dan Irak. Situasi ekonomi sangat buruk. Orang tua saya adalah petani, jadi saya menghabiskan banyak waktu untuk bertani," ujarnya dikutip dari laman The Guardian, Minggu 5 Agustus 2018.

Berada dalam kondisi berkecamuk itu sebenarnya bukanlah hal ideal bagi seorang anak petani untuk tertarik pada matematika. Birkar kecil mulai menggeluti matematika berkat saudaranya yang mengenalkan teknik matematika kepadanya. 

Salah satu pembimbing program doktor Birkar, profesor Ivan Fesenko dari Universitas Nottingham Inggris mengisahkan bagaimana perjuangan Birkar menekuni studinya di tanah Inggris. 

Fesenko menjelaskan, waktu awal menjalani program doktoral itu, Birkar masih belum fasih berbahasa Inggris, tapi dia bertekad menghadap Fesenko untuk belajar. 

"Biasanya program doktor diselesaikan dalam jangan waktu tiga sampai empat tahun. Saya memberinya sebuah tantangan, namun dia bisa menyelesaikannya dalam jangka waktu tiga bulan," ujar Fesenko. 

Profesor Paolo Cascini dari Imperial College London yang bekerja dengan Birkar mengakui bagaimana ketekunan koleganya tersebut. 

Menurutnya, Birkar fokus pada penggolongan bentuk-bentuk geometris dan menggambarkan blok-blok pembangunnya. 

Dengan penghargaan yang didapatkan, Bikrar berharap dapat memberi sedikit kebanggaan pada 40 juta suku Kurdi di dunia. Birkar menjadi orang termuda nomor dua yang meraih penghargaan matematika sekelas nobel tersebut.

Untuk posisi puncak peraih penghargaan medali Fields, yakni Peter Scholze yang  meraih gelar profesor kala berusia 24 tahun. 

"Geometri adalah studi mengenai ruang dan bentuk. Salah satu teknik yang diperkenalkan oleh geometri adalah ide mempelajari ruang yang rumit dengan memetakan ruang yang lebih sederhana ke atasnya," ujar Scholze. 

Figalli, salah satu pemenang dari Italia, memecahkan masalah dalam teori bilangan, yang merupakan studi tentang bilangan bulat, bilangan bulat dan bilangan prima. Sedangkan Venkatesh yang dibesarkan di Perth, pada usia 13 tahun ia menjadi orang termuda yang belajar di University of Western Australia. 

Venkatesh mendapatkan penghargaan matematika pada usia 16 tahun sebelum belajar di Universitas Princeton. Di sana dia langsung mengikuti kursus matematika, setelah berhasil menjawab soal yang belum pernah dipelajari. 

“Banyak waktu ketika Anda melakukan matematika, Anda terjebak, tetapi pada saat yang sama ada semua momen di mana Anda merasa istimewa bahwa Anda dapat menyelesaikannya," ujarnya. 

Profesor Cheryl Praeger, yang telah mengenal Venkatesh sejak dia berusia 12 tahun, dan mengawasi tesisnya ketika dia berusia 15 tahun mengatakan, Venkatesh selalu luar biasa. 

"Pada pertemuan pertama dia duduk di meja kantor saya. Lalu dia meminta saya untuk menjelaskan salah satu makalah mahasiswa bimbingan saya di program doktor. Dia bisa dengan mudah memahami esensi dari penelitian," ujarnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya