Asal Usul Hoax

Warga melakukan aksi teatrikal saat mengkampanyekan Gerakan Anti Hoax di Solo, Jawa Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Perdebatan tentang asal usul hoax antara Rocky Gerung dan Rhenald Kasali, menjadi perhatian publik Tanah Air. Dalam Indonesia Lawyer Club tvOne Selasa malam, 26 Maret 2019, keduanya saling bantah soal referensi hoax

Awas Hoaks, Ayu Dewi Tegaskan Gak Pernah Jadi MC Peluncuran Jet Pribadi Sandra Dewi dan Harvey Moeis

Dari segi etimologinya, jejak kata hoax muncul pada abad ke-18. Oxford English Dictionary pertama kali mengutip kata hoax sebagai kata kerja pada 1796, yang tertuang dalam kamus Grose’s Classical Dictionary of the Vulgar Tongue: “Hoaxing, bantering, ridiculing. Hoaxing a quiz; joking an odd fellow. University wit,”. 

Satu dekade kemudian, hoax sebagai kata benda muncul. Sejak itu, kata hoax dikonotasikan sebagai penipuan atau tipuan yang dilakukan dengan sengaja.

Nikita Mirzani Ngaku Dapet Kekerasan dari Rizky Irmansyah, Lita Gading: Lapor Jangan Koar-koar

Kata hoax, bukan merupakan kata yang asli. Kata tersebut, menurut banyak etimolog berasal dari kata hocus pocus yang diringkas menjadi hocus saja. Etimolog menduga, hoax berkembang dari kata hocus yang pada abad ke-17, merupakan kata benda dan kata kerja. 

Hocus pocus jangan dikira lekat dengan tokoh politik atau penguasa saat itu. Jauh dari perkiraan, hocus pocus merupakan sebutan untuk trik atau tipuan yang kerap dipertunjukkan oleh pesulap atau juggler. Pada abad ke-17, kata hocus dalam konteks kriminal berarti 'membius' seseorang dengan menggunakan minuman keras.

Amanda Manopo Murka! Gosip Hoaks Tersebar Luas, Keluarga Sampai Tahu

Dengan keterampilan tangan dan mengolah benda yang cekatan, pesulap kala itu sukses menipu penonton dengan triknya. Makanya ,tak heran pada 1620-an, pesulap kala itu kerap merupakan nama panggilan hocus.

Dalam catatan di buku More Word Histories and Mysteries: From Aardvark to Zombie, filolog Inggris Robert Nares menuliskan, kata hocus pocus telah muncul pada akhir 1600-an yang merupakan semacam mantra yang dirapalkan oleh penyihir atau pesulap pada zaman Raja James dari Inggris. 

Menurut Oxford English Dictionary, pesulap kala itu beraksi di dalam forum pengadilan Raja James. Mantra itu tercatat dalam catatan A candle in the dark, or a treatise on the nature of witches and witchcraft (1656), yang ditulis fisikawan asal Inggris, Thomas Ady.

Dalam merapalkan mantra, Thomas Ady menuliskan, pesulap atau penyihir itu menyebutkan frasa, 'hocus pocus, tontus talontus, vade celeriter jubeo'. 

Belakangan, mantra tersebut masih dirapalkan oleh pesulap, namun dengan frasa yang berbeda yakni 'hax pax max deus adimax’.

Frasa mantra itu diduga merupakan tiruan atau ejekan dari frasa yang digunakan pendeta Gereja Roma, saat melakukan ritual transubstansiasi. Dalam ritual tersebut, pendeta Gereja Roma mengucapkan doa dalam bahasa latin, yakni 'hoc est corpus'. 

Dalam catatan sejarah, hoax sebagai sebuah tipuan telah dipakai oleh tokoh publik, sekaligus pemimpin Revolusi Amerika, Benjamin Franklin pada 1745. Dia sengaja melontarkan hoax untuk menipu publik. 

Pada 1745 lewat harian Pennsylvania Gazette mengungkap adanya sebuah benda bernama 'Batu China' yang dapat mengobati rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu membuat standar verifikasi kedokteran tidak dilakukan sebagaimana standar semestinya.

Meski begitu, ternyata batu yang dimaksud hanyalah terbuat dari tanduk rusa biasa yang tak memiliki fungsi medis apapun. Hal tersebut diketahui oleh salah seorang pembaca harian Pennsylvania Gazette yang membuktikan tulisan Benjamin Franklin tersebut. Hoax-hoax senada beberapa kali terjadi sampai adanya Badan Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat pada awal abad 20. 

Dalam era modern, hoax terkenal yang sengaja disampaikan oleh ilmuwan, yakni hoax Sokal. Hoax ini dilakukan oleh profesor fisika New York University, Amerika Serikat pada 1996. 

Sokal menuliskan esai Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity yang dimuat jurnal Social Text. Jurnal ini merupakan kajian budaya pascamodern.

Artikel ini, merupakan eksperimen untuk menguji ketelitian intelektual dan menyelidiki apakah sebuah jurnal kajian budaya ternama di Amerika Utara, yang mana dewan redaksinya meliputi tokoh-tokoh seperti Fredric Jameson dan Andrew Ross, mau menerbitkan artikel yang dipenuhi omong kosong apabila pertama bahasanya meyakinkan dan kedua, cocok dengan kecondongan ideologis para penyuntingnya.

Artikel ini menyatakan, gravitasi kuantum adalah konstruksi sosial dan linguistik. Waktu itu, jurnal tersebut tidak menerapkan penelaahan sejawat dan tidak meminta bantuan fisikawan untuk meninjaunya. Ketika diterbitkan pada Mei 1996, Sokal mengungkapkan di Lingua Franca bahwa artikelnya bohong.

Kebohongan ini memancing perdebatan tentang bobot akademik komentar orang-orang humaniora terhadap ilmu fisika; pengaruh filsafat pascamodern terhadap disiplin ilmu sosial secara umum, termasuk apakah Sokal salah, karena menipu penyunting dan pembaca Social Text; dan apakah Social Text sudah menerapkan penelaahan intelektual yang memadai. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya