Sejarah Houthi Yaman, Kelompok yang Dibombardir AS Gegara Bantu Palestina

VIVA Militer: Milisi Houthi Yaman
Sumber :
  • theguardian.com

VIVA – Houthi di Yaman kembali menjadi sorotan global setelah menjadi sasaran serangan rudal dari Amerika Serikat (AS), Inggris, dan delapan negara Barat lainnya pada tanggal 11 hingga 12 Januari 2024.

5 Fakta Tersembunyi Hubungan Iran dan Israel, Pernah Seharmonis Ini

Serangan tersebut ditujukan ke Ibu Kota Yaman, Sana'a, yang dikuasai oleh Houthi, serta pelabuhan Houthi di Hodeidah, Dhamar, dan markas kelompok tersebut di barat laut Saada.

Militan kelompok Hutsi (Houthi) saat berkumpul di Kota Sanaa, Yaman

Photo :
  • AP Photo/Hani Mohammed
Selesaikan Persoalan Papua, Jusuf Kalla Beri Saran Begini ke Prabowo-Gibran

Kementerian Pertahanan Inggris menyatakan bahwa serangan dilakukan di Bani di barat laut Yaman, yang diidentifikasi sebagai lokasi peluncuran rudal dan drone. Tujuan serangan ini adalah untuk menahan serangan drone dan rudal yang dilakukan oleh kelompok Houthi, yang memiliki dukungan dari Iran, terhadap kapal-kapal kargo yang melewati Laut Merah.

Dilansir dari BBC, Selasa, 16 Januari 2024,  melaporkan bahwa kelompok Houthi telah melakukan serangan terhadap sejumlah kapal komersial di Laut Merah dengan menggunakan drone dan rudal balistik sejak tanggal 3 Desember. Serangan ini terjadi tak lama setelah pecahnya konflik antara Israel dan Hamas pada tanggal 7 Oktober.

Drama Korea Crash Akan Tayang Perdana di Disney+ Hotstar pada 13 Mei 2024

Serangan terhadap kapal-kapal kargo ini telah menimbulkan kekhawatiran akan kenaikan harga bahan bakar dan gangguan dalam rantai pasokan. Lebih dari 15 persen perdagangan global melalui jalur laut melalui Laut Merah, yang terhubung ke Laut Tengah melalui Terusan Suez dan menjadi rute pelayaran terpendek antara Eropa dan Asia.

Siapakah Kelompok Houthi?

Kelompok Houthi pertama kali muncul sebagai gerakan politik dan militer di Yaman utara pada dekade 1990-an. Akarnya dapat ditelusuri ke dalam komunitas Zaidi, suatu aliran Islam Syiah yang berada di negara tersebut.

Kelompok ini diambil dari nama pendirinya, yaitu Hussein Badreddin al-Houthi, yang berasal dari keluarga berpengaruh di Yaman utara. Al-Houthi secara aktif mengkritik pemerintah Yaman dan kebijakan asing, terutama yang terkait dengan Amerika Serikat dan Israel. Ia juga menentang penyebaran Wahabisme yang didukung oleh Arab Saudi.

VIVA Militer: Milisi Houthi di Yaman.

Photo :

Pada awal 1990-an, sebagai mantan anggota parlemen, al-Houthi mengekspresikan kritiknya terhadap dampak kebijakan asing di Yaman. Ia menggunakan tempat-tempat ibadah dan sekolah di Sa'dah, sebuah kota bersejarah di Yaman dan pusat Zaidi, untuk menyebarkan pemikiran dan ajarannya, termasuk pandangan anti-AS dan anti-Israel.

Konflik antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman meletus pada tahun 2004, ketika pemerintah berusaha menindas gerakan ini. Hussein al-Houthi akhirnya tewas pada September 2004. Namun, kematiannya malah menjadikan dirinya seorang martir di mata pengikutnya, dan gerakan ini terus berkembang di bawah kepemimpinan saudaranya, Abdul-Malik al-Houthi.

Kelompok itu semakin mendapatkan dukungan dari masyarakat, terutama di Yaman utara, karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang korup. Dengan berkembangnya kekuatan mereka, Houthi mengambil alih wilayah yang lebih luas, termasuk Sana'a, ibu kota Yaman, tahun 2014, yang menandai perubahan besar dalam dinamika politik Yaman (International Journal of Middle East Studies).

Langkah itu memperkuat posisi mereka sebagai pemain utama dalam konflik Yaman, yang melibatkan berbagai pihak, termasuk koalisi militer yang dipimpin Arab Saudi.

VIVA Militer: Milisi Houthi Yaman

Photo :
  • arabnews.com

Sebagaimana disebutkan di atas, kelompok Houthi memiliki akar yang mendalam dalam tradisi Zaidi Syiah, sebuah cabang Islam yang memiliki keunikan tersendiri dan berpengaruh di Yaman. Latar belakang dan ideologi Zaidi memainkan peran penting dalam pemahaman dinamika kelompok Houthi.

Di Yaman, Zaidi telah lama menjadi komponen utama dari struktur sosial dan politik, terutama di wilayah utara. Mereka memiliki sejarah panjang dalam membentuk negara-negara dan dinasti-dinasti di wilayah tersebut, dan ini memberikan mereka posisi yang unik dalam sejarah Yaman. Tradisi Zaidi Syiah di Yaman berbeda dengan praktik Syiah di tempat lain, dengan penekanan pada aspek kebebasan dan pemberontakan terhadap penguasa yang tidak adil.

Meski berakar pada tradisi Zaidi, kelompok itu telah mengembangkan bentuk ideologi dan praktik yang unik. Mereka menggabungkan elemen-elemen tradisional Zaidi dengan pandangan kontemporer yang terkait dengan isu-isu nasionalisme, anti-imperialisme, dan oposisi terhadap intervensi asing. Hal itu menciptakan suatu bentuk resistensi yang berlandaskan pada identitas Zaidi tetapi juga merespons konteks politik dan sosial Yaman modern.

Pemicu Konflik dengan Pemerintah Yaman

VIVA Militer: Kapal tanker STRINDA dihantam rudal milisi Houthi

Photo :
  • cnn.com

Dinamika hubungan antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman pada awalnya mencerminkan situasi yang lebih besar antara pemerintah pusat dan komunitas Zaidi di Yaman utara. Pada fase awal, hubungan ini gejala ketegangan dan ketidakpercayaan, meskipun belum mencapai tingkat permusuhan yang menyeluruh. Pada awal tahun 2000-an, hubungan tersebut mulai mengalami penurunan.

Beberapa faktor utama yang memicu konflik termasuk kebijakan pemerintah Yaman yang dianggap mendiskriminasi komunitas Zaidi, terutama dalam aspek ekonomi dan politik. Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh, yang juga berasal dari latar belakang Zaidi, dituduh mengabaikan kebutuhan dan hak-hak komunitas Zaidi, sambil memperkuat ikatan dengan kelompok-kelompok Sunni dan mendapatkan dukungan dari negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi (Sarah Phillips, "Yemen and the Politics of Permanent Crisis", 2012).

Peningkatan pengaruh Wahabi, yang didukung oleh Arab Saudi, di Yaman utara juga menjadi pemicu konflik. Wahabisme, dengan ajaran Sunni yang konservatif, dianggap sebagai ancaman terhadap tradisi Zaidi yang lebih moderat dan inklusif. Hal ini memperdalam ketidakpuasan di kalangan komunitas Zaidi dan memperkuat dukungan terhadap kelompok Houthi, yang menghadapi penyebaran Wahabisme (Fred Halliday, "Arabia without Sultans", 2002).

Konflik bersenjata pertama meletus tahun 2004, ketika pemerintah Yaman mencoba menangkap Hussein Badreddin al-Houthi. Pemerintah mengklaim bahwa al-Houthi menyebabkan ketidakstabilan dan pemberontakan. Hal itu mengawali serangkaian konfrontasi bersenjata yang berkelanjutan antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman.

Pemerintah Yaman menuduh Houthi berupaya merongrong pemerintahan dan mendirikan sebuah negara Syiah di Yaman utara, sebuah tuduhan yang ditolak Houthi.

Keterlibatan kelompok Houthi dalam politik nasional, terutama setelah invasi Irak 2003 dan konflik Israel-Palestina, juga memainkan peran dalam meningkatkan ketegangan. Gerakan Houthi, yang mengkritik keras kebijakan pro-Barat pemerintah Yaman dan intervensi asing, terutama dari AS dan Israel, memperoleh dukungan luas dari berbagai kelompok di Yaman yang merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat (Marieke Brandt, "Tribes and Politics in Yemen: A History of the Houthi Conflict", 2017).

Faktor internal lain yang berkontribusi pada konflik ini termasuk ketidakpuasan ekonomi dan sosial di wilayah Yaman utara. Kekurangan sumber daya, marginalisasi politik, dan ketidakadilan sosial dianggap sebagai pemicu pemberontakan Houthi. Kelompok ini menarik dukungan dari mereka yang kecewa dengan pemerintah dan mencari perubahan politik dan ekonomi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya