Minum Sperma Jadi Tradisi Unik Suku di Negara Tetangga Indonesia, Kok Bisa?

Ilustrasi sperma
Sumber :
  • www.pixabay.com/geralt

VIVA – Ada banyak ragam tradisi dan ritual kedewasaan yang wajib dilakukan oleh berbagai suku di dunia. Beberapa tradisi tersebut terbilang cukup unik, bahkan ekstrem untuk dilakukan.

Cerita Dokter Boyke Tangani Pasien 2 SMP yang Perawan Tapi Hamil, Kok Bisa?

Dilansir dari The Guardian, Rabu, 13 Desember 2023, salah satunya adalah ritual kedewasaan yang wajib dilakukan para pria Suku Sambia di Papua Nugini. Sebagai tanda telah tumbuh dewasa, Suku Sambia mewajibkan para penduduk laki-lakinya untuk minum sperma dari anggota suku yang berjenis kelamin lelaki dan sudah dewasa.

Papua Nugini, negara tetangga Indonesia.

Photo :
  • Google Earth.
Hadiri Pesta Adat Lom Plai, Pj Gubernur Kaltim: Seni Budaya Ini Harus Dilestarikan

Ritual yang wajib dilakukan oleh anak laki-laki yang menginjak usia 7 tahun ini bertujuan untuk melancarkan pertumbuhan dan menambah kekuatan anak tersebut. Begitu memasuki usia sakral, para anak laki-laki itu akan mulai hidup terpisah dari ibunya dan tinggal di sebuah gubuk yang semua penghuninya adalah laki-laki.

Proses ritual adat ini memungkinkan pelepasan anak laki-laki dari ibu mereka yang diyakini telah mencemari darah. Alasan mereka dipisahkan dari kaum hawa selama hidupnya lantaran wanita dianggap memiliki kekuatan atau 'tingu' yang dengan mudah memanipulasi para lelaki.

Putri Isnari DA 4 Lamaran, Gepokan Uang Panai Rp2 Miliar Jadi Sorotan

Bagi Suku Sambia, tingu milik kaum hawa dianggap sebagai kutukan untuk anak laki-laki. Tingu seorang wanita diprediksi semakin kuat setelah mereka mengalami siklus menstruasi.

Suku Sambia meyakini, tingu seorang perempuan membuat tingu yang dimiliki anak laki-laki layu dan kering ketika mereka lahir dan tumbuh dewasa. Satu-satunya cara untuk membangkitkan kembali tingu tersebut adalah dengan meminum cairan sperma pria dewasa.

Maka dari itu, untuk menghilangkan tingu dalam tubuh, anak laki-laki harus melakukan upacara pertumpahan darah yang menjadi pembuka ritual kedewasaan ala Suku Sambia.

Untuk melakukan ritual kejantanan ini, anak laki-laki di Suku Sambia harus menjalani penyedotan darah dari hidung dengan menusukkan kayu atau rumput yang runcing hingga darah dari hidung mereka mengalir deras. Darah yang mengalir deras dari hidung sang pria itu dianggap sebagai tingu yang menempel di jiwa laki-laki itu.

Begitu para tetua melihat darah keluar, para lelaki dewasa yang ada dalam gubuk akan menangis bersama-sama. Setelah itu, anak-anak yang menjalani ritual bakal dicambuk atau dipukuli. Tujuannya untuk menguatkan dan mempersiapkan mereka menjadi prajurit.

Ilustrasi sperma.

Photo :
  • CCRM

Setelah melakukan ritual pertama, mereka harus menelan air mani dari pria dewasa. Dengan melakukan hal tersebut, Suku Sambia meyakini tingu yang layu itu akan kembali kuat ketika mereka meminum air mani.

Tingu yang kembali tumbuh dalam tubuh anak laki-laki itu akan semakin kuat jika mereka dipisahkan dari kaum hawa dan menjalani diet ketat. Bagi anak laki-laki yang menentang dan menolak ritual tersebut, mereka akan mendapat sanksi oleh ketua suku berupa hukuman mati.

‘Sumber’ air mani ini adalah laki-laki berusia 13-21 tahun dan belum menikah.

Anak yang sedang menjalani ritual ini akan dipaksa menelan sebanyak mungkin air mani, sehingga tubuh mereka kuat.

Pada usia 13 tahun, saat memasuki masa pubertas, ritual tadi kembali dilakukan. Kali ini, mereka berperan sebagai penyumbang air mani bagi laki-laki yang berusia 7 tahun. Setelah mereka tumbuh dewasa sekitar berusia 20 tahun, ayah dan saudara laki-laki akan menikahkan anak tersebut.

Laki-laki muda ini akan dinikahkan setelah sang pengantin wanita melewati menstruasi pertama. Sebelum dinikahkan, para tetua suku akan melatih para lelaki muda ini untuk melepaskan diri dari kepuasan wanita.

Sebab, jika mereka terlena, Suku Sambia meyakini tingu perempuan tersebut dapat membuat laki-laki tersebut jatuh sakit, bahkan meninggal dunia.

Salah satu caranya adalah mandi lumpur setelah berhubungan intim untuk membersihkan kotoran yang ditularkan istrinya. Ritual kedewasaan ini baru akan berakhir ketika seorang laki-laki menjadi ayah.

Keberhasilan seorang pria Suku Sambia dapat dilihat setelah sang istri melahirkan. Saat mereka berstatus sebagai seorang ayah, mereka akan dihormati serta dianggap sebagai pejuang dan pria dewasa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya