Waspada Penyakit Jantung Aritmia, Sebabkan Stroke Hingga Kematian

Ilustrasi jantung
Sumber :
  • Times of India

VIVA – Ada beberapa orang yang mengalami irama jantung yang tidak normal. Detak jantungnya dapat terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur. Kondisi ketika detak jantung tidak berdenyut dengan normal inilah yang dinamakan aritmia. 

Sadis! Suami Bakar Istri di Jayapura Gara-gara Sakit Stroke

Aritmia sendiri dapat disebabkan karena hipertensi, diabetes, kelainan katup jantung, dan penyakit jantung koroner. Pada beberapa kasus, penyebabnya malah belum diketahui. 

Selain kondisi medis, aritmia juga dapat dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat, seperti tidak dapat mengelola stres dengan baik, kurang tidur, merokok, konsumsi minuman beralkohol atau kafein secara berlebihan, dan penyalahgunaan NAPZA. 

Ini Akibat Jarang Scaling Gigi yang Perlu Anda Ketahui!

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr Sunu Budhi Raharjo, PhD, SpJP(K), mengatakan, ketika terjadi aritmia, beberapa orang tidak menyadari kondisi mereka karena gejalanya tidak spesifik. Namun, pada kasus-kasus yang berat, gangguan aritmia dapat menyebabkan terjadinya stroke, bahkan kematian jantung mendadak. 

"Dulu, satu-satunya cara untuk mengatasi aritmia adalah dengan meresepkan obat-obatan. Sayangnya, efektivitas obat-obatan untuk pengobatan penyakit ini tidak terlalu tinggi dan perlu pemantauan yang ketat. Selain itu, obat-obatan anti aritmia juga sering memiliki efek yang tidak diharapkan dan mempunyai interaksi dengan obat-obatan lainnya," ujarnya saat Media Gathering Heartology Cardiovascular Center, yang digelar virtual, Sabtu 9 Januari 2021. 

Termasuk Polusi Udara, Ini 10 Penyebab Penyakit Jantung yang Perlu Diketahui

Dokter Sunu menambahkan, selama beberapa dekade terakhir, banyak pasien yang menderita aritmia lebih memilih untuk menjalani tindakan ablasi, karena tingkat keberhasilan yang tinggi dan pasien bisa bebas obat. 

"Ini merupakan tindakan intervensi non-bedah dengan menggunakan kateter yang dapat digunakan untuk menghancurkan sirkuit listrik yang tidak normal pada jantung seseorang," ujar dia. 

Sunu menceritakan, belum lama ini, dia melakukan tindakan ablasi 3 dimensi menggunakan HD Grid 3D Mapping system pada seorang pasien laki-laki berusia 70 tahun, di Heartology Cardiovascular Center. 

Pasien ini menderita gangguan aritmia Fibrilasi Atrium (FA). FA adalah gangguan irama jantung yang paling sering ditemukan di dunia. Di Indonesia, saat ini, FA diperkirakan diderita oleh lebih dari 2 juta orang. 

Penderita FA memiliki risiko stroke sampai 5 kali lipat lebih tinggi dibanding pasien yang bukan FA. Selain itu, derajat keparahan stroke-nya juga lebih tinggi. Pasien yang dikerjakan dokter Sunu ini juga memiliki riwayat stroke berulang. 

"Sejauh ini obat-obat sudah dikonsumsi maksimal oleh pasien tersebut, namun penyakitnya belum teratasi. Oleh karena itu, pasien ini perlu dilakukan tindakan kateter ablasi untuk menghilangkan sumber aritmianya," kata dia. 

Menurut Sunu, Fibrilasi Atrium merupakan salah satu jenis aritmia yang kompleks. Sumber aritmia utama berasal dari keempat vena pulmonalis yang berada di atrium atau serambi jantung sebelah kiri. Kompleksitasnya terutama terletak pada banyaknya titik atau sumber aritmia yang harus dihilangkan atau diablasi, sehingga tingkat kekambuhan tindakan ablasi FA berkisar 25-30 persen setahun pasca tindakan.

"Teknologi HD Grid 3D Mapping system yang digunakan di Heartology Cardiovascular Center, memberikan paradigma baru dalam pemetaan aritmia, termasuk FA. Paradigma lama menggunakan kateter bipolar, sedangkan HD Grid menggunakan kateter multipolar dan multidirectional, sehingga bisa mendeteksi gap atau celah yang tidak terlihat oleh kateter bipolar," tuturnya. 

Selain itu, Sunu mengungkap, teknologi pemetaan ini menggabungkan pemetaan magnetik dan impedans secara bersamaan yang memungkinkan tindakan kateter ablasi dilakukan dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. 

"Hal ini dibuktikan dengan bukti klinis yang menunjukkan bahwa penggunaan teknologi ini mampu menurunkan tingkat kekambuhan menjadi hanya sekitar 5-10 persen setahun pasca tindakan, artinya 5-6 kali lipat lebih baik dibanding teknologi yang lama," sambungnya. 

Hal lain yang juga penting adalah waktu tindakan yang bisa lebih cepat. Dokter Sunu sendiri merupakan pelopor dalam penggunaan HD Grid Mapping System ini, sebagai yang pertama di Indonesia.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya