Studi: Risiko Tinggi Kematian Pasien COVID-19 dengan Gangguan Mental

Ilustrasi gangguan kepribadian, gangguan mental
Sumber :
  • Pixabay/Maialisa

VIVA – Sejak awal pandemi COVID-19, para pakar menyoroti bahwa orang lanjut usia (lansia) dan pasien dengan komorbid memiliki risiko lebih tinggi untuk meninggal akibat penyakit tersebut. Rupanya, studi terbaru menemukan hal senada pada pasien dengan gangguan mental.

Meli Joker Tewas Bunuh Diri Sambil Live di Instagram, Psikolog Soroti Hal Ini

Sering kali, penelitian hanya menyoroti pasien dengan kondisi jantung, penderita diabetes, pasien hipertensi dan mereka yang menderita kanker diminta untuk mengambil tindakan pencegahan ekstra terhadap COVID-19.

Tetapi, pada umumnya, orang dengan kondisi mental tidak disorot profesional kesehatan. Kini, sebuah studi baru di Universitas Paris Est Creteil, Prancis, menemukan bahwa pasien dengan gangguan mental itu sangat rentan terhadap virus SARS-CoV-2.

Atasi Gangguan Mental Sebelum Berujung Depresi, Ini Solusi Menjaga Kesehatan Jiwa

Menurut para peneliti tersebut, kemungkinan meninggal atau dirawat di rumah sakit setelah infeksi COVID-19 pada individu dengan gangguan kejiwaan dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang tanpa gangguan mental. 

Hasil penelitian tersebut dijabarkan dalam Jurnal peer-review Lancet Psychiatry yang baru saja diterbitkan. Lantas, bagaimana risiko kematian pada pasien gangguan jiwa yang terinfeksi COVID-19?

Mengejutkan! Banyak Calon Dokter Spesialis Alami Depresi, Kemenkes Ungkap Penyebabnya

Untuk tujuan penelitian ini, para peneliti mengumpulkan data dari 33 penelitian yang tersebar di 22 negara, yang terdiri dari 1.469.731 pasien dengan COVID-19. Dari jumlah tersebut, 43.938 pasien mengalami gangguan jiwa. 

Para peneliti mendapatkan hasil bahwa orang dengan gangguan psikotik dan gangguan mood adalah kelompok yang paling rentan untuk kematian terkait COVID-19. Tetapi pasien seperti itu, meskipun mereka memiliki risiko kematian tertinggi, tidak memiliki peningkatan risiko masuk rumah sakit. 

Selain itu, pasien yang mendapat pengobatan dengan antipsikotik atau ansiolitik (obat penurun kecemasan) juga tampak sangat rentan. Pasien dengan gangguan penggunaan zat juga berisiko lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit setelah infeksi COVID-19

Obat psikiatri dapat berinteraksi dengan obat COVID-19
Para peneliti mengatakan bahwa pengobatan antipsikotik dapat meningkatkan risiko kardiovaskular dan tromboemboli, mengganggu respons imun yang memadai, dan menyebabkan interaksi dengan obat yang digunakan untuk mengobati COVID-19.

Benzodiazepin, obat psikoaktif, dikaitkan dengan risiko pernapasan, dan diketahui terkait dengan semua penyebab kematian. Namun, para peneliti dengan cepat menunjukkan bahwa beberapa antidepresan baru-baru ini terbukti memiliki efek perlindungan.

Gaya hidup dan faktor sosial juga berperan
Menurut para peneliti, faktor sosial dan gaya hidup seperti diet, kurangnya aktivitas fisik, isolasi sosial, penggunaan alkohol dan tembakau yang tinggi, dan gangguan tidur, dan prevalensi komorbiditas somatik yang lebih tinggi mungkin juga memiliki efek merugikan pada prognosis COVID-19.

Apa yang perlu dilakukan?
Mengingat hasil penelitian ini, para peneliti menekankan perlunya otoritas kesehatan nasional dan internasional untuk mengambil tindakan bersama untuk membantu kelompok pasien tertentu ini.

Penting untuk memprioritaskan vaksinasi kepada pasien dengan penyakit mental berat, cacat intelektual, dan gangguan penggunaan narkoba. 

Penting juga untuk menyoroti urgensi tindakan untuk mengatasi kemungkinan berkurangnya akses ke perawatan. Pemantauan ketat dan rujukan rumah sakit yang memadai pada pasien dengan gangguan kejiwaan yang mengembangkan COVID-19 diperlukan untuk mengatasi kemungkinan berkurangnya akses ke perawatan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya