Mengagumi Arsitektur Klenteng Toasebio Berusia 600 Tahun

Wihara Dharma Jaya Toasebio di Glodok, Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Isra Berlian

VIVA – Menjelang hari raya Imlek, klenteng tua Wihara Dharma Jaya Toasebio, yang terletak di Jalan Kemenangan III, Glodok, Jakarta Barat terlihat sibuk berbenah. Beberapa pengurus wihara melakukan ritual pembersihan patung dewa dan dewi, sementara pengunjung memanjatkan doa. 

5 Rekomendasi Wisata di Jakarta Untuk Libur Sekolah dari Rumah Hantu hingga Aquarium

Bangunan yang didominasi warna merah ini masih berdiri kokoh, meski telah dibangun sejak 500 hingga 600 tahun yang lalu. Harum asap hio yang mengisi seluruh ruang wihara menyambut para pengunjung. 

Tidak hanya disinggahi para umat untuk memanjatkan doa kepada dewa-dewi. Klenteng ini pun menarik minat wisatawan untuk menikmati filosofi bangunan tua tersebut. 

Akan Hadir Konsep Baru Menelusuri Jakarta dari Masa ke Masa Melalui Berbagai Pintu

Mulai dari pintu masuk, tempat sembayang hingga altar dewa-dewa. Memasuki memasuki gerbang, Anda akan menemui ornamen naga yang melilit di bagian atas gerbang. 

Konon naga yang bertengger pada gerbang masuk, maupun tiap sudut klenteng, diyakini dapat mengusir roh jahat masuk ke dalam rumah. 

Bangkitkan Wisata, Pemprov DKI Jakarta Lakukan Cara Ini

"Naga sebenarnya lambang dari binatang kahyangan binatang langit. Kan naga badannya ular kepalanya mirip rusa. Tugasnya buat mengusir arwah jahat makanya selalu ditaruh di depan," kata salah satu pengurus wihara, Hartanto, kepada VIVA di lokasi, Jumat 9 Februari 2018. 

Dia juga menjelaskan, dahulu ada satu kampung di China yang dikuasai siluman-siluman. Kala itu seorang dewa menjelma menjadi naga, naga itu kemudian mengusir para siluman tersebut. 

"Dengan kejadian itu, anak cucu turunannya pun meyakini naga bisa mengusir roh jahat," jelas dia. 

Vihara Dharma Jaya Toasebio di Glodok, Jakarta

Ketika memasuki area utama, pengunjung pun akan langsung menjumpai sebuah bangunan untuk sembayang. Yang unik pada bangunan ini terletak pada atapnya yang memiliki bentuk segi delapan. Bentuk segi delapan ini pun memiliki filosofi arah mata angin. 

"Artinya, supaya keberkahan," ujarnya menjelaskan.  

Umumnya setelah sembayang kepada Tuan Allah, para pengunjung akan menyambangi altar dewa-dewa untuk berdoa. Pada ruangan ini lilin merah dari ukuran kecil hingga besar menyala memenuhi setiap sudut ruangan. 

Ada yang berbeda antara bangunan depan dan belakang wihara, terutama di bagian langit-langitnya. Kata  Hartanto, ornamen di bagian depan dengan warna merah lebih gelap dari bagian belakang. 

Selain itu, jika memperhatikan struktur atap-atap langit di ruang altar dewa-dewa ini, tersusun dari kayu-kayu jati, yang merupakan ornamen asli sejak wihara berdiri. 

"Arsitektur bangunan ini termasuk klenteng tua," kata dia. 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya