Alarm Bahaya Lima Parpol di Pemilu 2019

Ilustrasi bendera partai-partai politik beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • Antara/ Fanny Octavianus

VIVA – Lima partai politik lama terancam tamat pada Pemilu 2019 mendatang. Sudah muncul peringatan bahwa perolehan suara mereka tak mampu memenuhi syarat parliamentary treshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen, atau terlalu mepet dengan angka tersebut.

Ketum Granat: Partai Jangan Usung Mantan Pecandu Narkoba di Pilkada

Setidaknya begitulah prediksi dari Lingkaran Survei Indonesia atau LSI. Alarm bahaya dari lembaga penelitian yang dipimpin oleh Denny JA tersebut tidak bisa dipandang remeh oleh partai-partai itu karena memang didasarkan pada survei ilmiah terbaru mereka selama 7-14 Januari 2018.

Siapa saja kelima partai politik itu? Mereka antara lain Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Hanura.

Siap-siap Gaduh Gara-gara Reshuffle Kabinet

LSI menyebutkan pada survei bulan Agustus 2017, suara PPP sebesar 4,2 persen, Desember 2017 sebesar 2,8 persen, dan Januari 2018 sebesar 3,5 persen.

Kemudian Nasdem pada Agustus 2017 sebesar 4,0 persen, Desember 2017 4,4 persen, dan Januari 2018 4,2 persen. Lalu PKS pada Agustus 2017 3,8 persen, Desember 2017 4,0 persen, Januari 2018 3,8 persen.

Ketua Jokowi Mania Masuk Partai Golkar?

Sedangkan PAN, pada Agustus 2017 sebesar 3,6 persen, Desember 2017 1,5 persen, dan Januari 2018 2,0 persen. Dan Hanura, pada Agustus 2017 sebesar 1,6 persen, Desember 2017 0,5 persen, Januari 2018 0,7 persen.

Peneliti LSI Rully Akbar menuturkan salah satu penyebab partai-partai itu ada di zona tidak aman adalah karena tidak memberikan gebrakan tertentu. Situasi itu berbeda dengan PDIP dan Partai Golkar sebagai dua partai yang diprediksi memenangkan Pemilu 2019 mendatang.

Baca juga:

- PDIP, Golkar, dan Gerindra Masih Tiga Besar di Pemilu 2019

- PKB dan Demokrat Saling Salip Rebutan Posisi Empat di 2019

- LSI: Golkar Bisa Menang Pemilu 2019

"PDIP dan Golkar dapat mengasosiasikan diri dengan kinerja positif dari Jokowi. Golkar juga jauh-jauh hari mendukung Jokowi sebagai calon presiden, selain mereka menempatkan sejumlah kader sebagai menteri," kata Rully saat dihubungi VIVA, Kamis, 25 Januari 2018.

Selain itu, mereka tidak memiliki figur yang bisa menaikkan elektabilitas. Misalnya saja seperti Prabowo Subianto di Gerindra atau Susilo Bambang Yudhoyono di Demokrat.

"PKS partai kader tapi tidak memiliki figur yang kuat. Elektoral Zulkifli belum mampu mengangkat PAN sebagaimana saat partai itu dipimpin Amien Rais," tutur Rully lagi.

Sementara itu, PPP dia anggap kehilangan pangsa pasar, pemilih atau basis suara. Karena pemilih dari kalangan Islam sudah beralih ke PKS, PKB, atau PAN.

Untuk Nasdem, lanjut dia, tidak ada figur kuat dari mereka di tim kerjanya Jokowi. Belum ada pencitraan yang baik bahwa kader Nasdem adalah kader Jokowi.

"Konflik internal Hanura merusak suara mereka di grassroot. Tapi ini sudah ada islah yang dipimpin oleh Wiranto, mudah-mudahan mengembalikan elektabilitas Hanura," tutur Rully.

Reaksi Partai-partai

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy, tetap optimistis meski elektabilitas partainya rendah sekarang. Dia berargumentasi bahwa hasil survei itu bukan patokan bagi PPP.

"Kami tidak ingin berpatokan kepada survei, tapi survei kita jadikan sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras lagi," katanya usai Rapat Koordinasi Nasional PPP di Jakarta pada Rabu, 24 Januari 2018.

Pria yang akrab disapa Romi itu menyebut hasil survei masih bisa berubah, karena waktu menuju pemilu masih cukup panjang. Hal tersebut akan berdampak pada banyak variabel. Contohnya, dalam setiap survei selalu ada yang memutuskan sikap atau pilihan. Mereka akan memutuskan pilihan kelak di hari pemungutan suara sehingga tentulah tak masuk dalam hasil survei.

Atas dasar itu, Romi percaya suara PPP masih bisa meningkat dan partainya mampu menggaet simpati masyarakat yang belum menentukan pilihan dalam survei. Dia juga percaya diri dengan pengurus PPP sekarang yang semakin kompak, sehingga mesin partai bisa bekerja maksimal.

"Struktur dan kultur PPP di setiap daerah semuanya akan digunakan secara simultan untuk pemenangan. Kita gerakkan dengan seluruh elemen kader, atau kader yang kita rekrut dalam pencalegan akan datang," katanya.

Terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem Taufiqulhadi mengakui sebagai partai baru, Nasdem perlu bekerja lebih keras dalam Pileg nanti.

"Tentu saja partai seperti Partai Nasdem, sebuah partai baru, dia harus bekerja ekstra keras dibandingkan partai-partai yang lain yang mungkin sudah memiliki pemilih tradisional," kata Taufiqulhadi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Januari 2018.

Taufiqulhadi menegaskan, Nasdem akan terus berupaya mendapatkan pemilih tradisional. Namun sebelum itu, partainya juga akan lebih dulu mengambil hati para pemilih baru atau swing voters.

"Karena swing voters itu di dalam Pemilu yang lalu itu besar sekali. kami memperoleh swing voters itu sampai 5 persen," ujar dia.

Menurut dia, saat sebelum Pemilu lalu itu, partainya hanya mendapat 1 persen dalam survei. Namun kemudian Nasdem berhasil mendapatkan suara hampir 6 persen karena suara para pemilih pemula.

"Nah kami ingin meraih swing voters lebih besar daripada yang lalu. Jadi kami bisa membawa dengan dasar yang sekarang kami telah miliki. 4,5 persen itu kami mampu meraih, kami yakin mampu meraih suara dari periode yang lalu," katanya.

Sementara itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengaku menjadikan temuan survei sebagai penyemangat. Dia tidak memandang negatif peringatan dari LSI tersebut.

"Hasil survei selalu baik untuk jadi cermin dan cambuk bagi PKS. Dan kami memperlakukannya secara proporsional," kata Mardani lewat pesan tertulisnya, Kamis, 25 Januari 2018.

PKS sendiri mempunyai kajian mengenai elektoral. Menurut Mardani, partai yang memiliki calon presiden atau wakil presiden punya kesempatan lebih bagus untuk menaikkan elektabilitas partai.

"Kajian kami ada band wagon effect atau cocktail effect. Siapa yang punya capres atau cawapres akan mendulang insentif elektoral yang signifikan," ujar Mardani.

Karena itu, PKS sengaja mengumumkan sembilan nama capresnya beberapa waktu lalu. Dia berharap pengumuman itu berefek pada suara PKS di Pemilihan Legislatif 2019.

"Dan PKS sudah mengumumkan dan meminta sembilan capres atau cawapresnya bekerja keras meningkatkan elektabilitas partai," kata anggota Komisi II DPR ini.

Tidak Peduli

Sedangkan, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan memandang hasil survei selalu tidak mewakili suara seluruh rakyat Indonesia.

"Hasil survei silakan saja, tapi jangan sampai digunakan untuk penggiringan opini. Karena survei di Pilkada Jakarta nggak ada yang hasilnya menunjukkan Anies-Sandi menang. Salah juga survei itu," kata Taufik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.

Taufik mengatakan hasil survei harus bisa dipertanggungjawabkan. Dia mengingatkan saat ini Indonesia memasuki tahun politik, sehingga survei yang berbasis akademik jangan sampai dipolitisasi.

"Yang terhormat lembaga survei, silakan mensurvei. Tentunya hasilnya harus dipertanggungjawabkan. Dan kalau hasilnya salah seperti yang terjadi pada PAN, nanti bisa dituntut loh. Sehingga itu jadi hal-hal yang membuat situasi persepsi publik tidak ditempatkan pada posisinya," ujar Taufik.

Mengenai apakah temuan LSI ini akan dijadikan bahan evaluasi, Taufik menjawab PAN tidak peduli hasil survei. Taufik mengatakan sejauh ini PAN selalu berada di atas lima persen.

"PAN nggak peduli hasil survei. Kalau itu jadi salah satu indikator ya silahkan. Empat kali Pemilu, PAN disurvei di atas 5 persen, nggak pernah selalu di bawah 1,6 persen," kata Taufik.

Terakhir, Wakil Sekretaris Jenderal Hanura, Dadang Rusdiana, mengatakan, untuk bisa mencapai ambang batas parlemen, partainya akan merampungkan rekonsiliasi di internal partai.

"Tentunya rekonsiliasi menjadi modal dasar kami bangkit melewati ambang batas 4 persen," kata Dadang, di Senayan, Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.

Dadang mengatakan, rekonsiliasi itu akan didasarkan pada 'win-win solution' antar kedua pihak yang berseteru, yakni kubu Daryatmo dan Oesman Sapta Odang. Pemecatan-pemecatan juga harus segera dihentikan.

"Kalau tidak, Hanura akan keropos, karena yang dipecat tentu memiliki jaringan dan massa riil," ujar Dadang.

Sekretaris Fraksi Hanura di DPR ini optimistis rekonsiliasi penuh bisa dilakukan. Rekonsiliasi itu bisa dilakukan katanya dengan kedua pihak merasa tidak ada yang menang.

"Kalau tidak seperti itu kami repot mengerek elektabilitas dengan meninggalkan barisan yang nyata-nyata sejak lama berjuang membesarkan Hanura," kata Dadang.

Bila mengacu pada hasil Pemilihan Legislatif 2014, posisi kelima partai tersebut memang mengkhawatirkan. Ada di lima terbawah dari partai-partai yang lolos ke DPR. Meskipun demikian, bukan berarti partai-partai itu tidak punya harapan.

Rully Akbar menyebut setidaknya ada dua langkah yang harus mereka lakukan. Pertama adalah menyiapkan figur kuat yang bisa mengerek elektabilitas mereka. Kedua, membuat gebrakan, atau program yang menyentuh rakyat.

Berikut hasil perolehan suara pada Pemilu 2014:

1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 23.681.471 (18,95 persen).
2. Partai Golkar 18.432.312 (14,75 persen).
3. Partai Gerindra 14.760.371 (11,81 persen).
4. Partai Demokrat 12.728.913 (10,19 persen).
5. Partai Kebangkitan Bangsa 11.298.957 (9,04 persen).
6. Partai Amanat Nasional 9.481.621 (7,59 persen).
7. Partai Keadilan Sejahtera 8.480.204 (6,79 persen).
8. Partai Nasdem 8.402.812 (6,72 persen).
9. Partai Persatuan Pembangunan 8.157.488 (6,53 persen).
10. Partai Hanura 6.579.498 (5,26 persen).

Tidak lolos DPR

11. Partai Bulan Bintang 1.825.750 (1,46 persen).
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.143.094 (0,91 persen). (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya