Kompor Panas Meleduk Pilpres 2019

Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kanan) dan Ma'ruf Amin (kanan) serta pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kiri) dan Sandiaga Uno (kiri) berfoto bersama Ket
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Ucapan calon presiden petahana Joko Widodo yang menyinggung banyak kompor bikin panas dalam dinamika Pemilihan Presiden 2019, memantik respons. Pernyataan Jokowi ini direspons sejumlah pihak, terutama kubu rival.

Elite PAN soal PKB-Nasdem Gabung Prabowo: Ini Masih Perubahan atau Keberlanjutan? 

Jokowi yang merupakan capres nomor urut 01 ini melontarkan ucapan banyak kompor yang memanas-manasi, usai menerima gelar adat Raja Balaq Mangku Negara di Palembang, Sumatera Selatan.

Eks Gubernur DKI Jakarta itu heran, karena gara-gara beda pilihan politik seperti pilpres membuat masyarakat di suatu daerah tak saling sapa.

Megawati Belum Putuskan soal Usulan Kerja Sama dengan Prabowo

"Saya kadang geleng-geleng, ini satu kampung, satu RT atau RW, tidak saling menyapa gara-gara pilihan bupati, gubernur, atau presiden. Ada majelis taklim, gara-gara pilihan presiden, tidak saling menyapa," kata Jokowi di Griya Agung, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu lalu, 24 November 2018.

Jokowi menilai, hal ini, karena masyarakat lupa bahwa setiap lima tahun pasti ada pemilihan tingkat kepala daerah hingga presiden. Perbedaan politik, semestinya biasa dalam pemilu. Namun, hal ini seperti ada ulah yang memanas-manasi situasi politik dalam tahapan kampanye Pilpres 2019.

Prabowo Tetap Dikawal Satgas Pengamanan Capres Polri hingga H-30 Pelantikan

"Kita ini, saudara sebangsa dan setanah air. Jangan lupakan itu. Ini karena banyak kompor, karena dipanas-panasi, dikompor-kompori, jadi panas semuanya," sebut Jokowi.

Baca: Jokowi Sebut Banyak Kompor Bikin Pilpres 2019 Panas

Capres Petahana Joko Widodo dan Capres Prabowo Subianto berjabat tangan di Kantor KPU di Jakarta beberapa waktu lalu.

Pernyataan Jokowi dinilai tak ada masalah dan justru bicara fakta. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Irma Suryani mengatakan, sebagai kepala negara dan capres petahana, Jokowi dianggapnya paham, serta selalu menghormati rakyat.

Selama ini, kata dia, tak pernah Jokowi menggunakan bahasa yang menghina rakyat. "Untuk itu, beliau tidak pernah meng-cluster-cluster rakyat. Justru dengan itu, Jokowi menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat," jelas Irma kepada VIVA, Senin 26 November 2018.

Pembelaan juga disampaikan oleh Ketua DPP Hanura, Inas Nasrullah Zubir. Ia tak menampik, ucapan banyak kompor bikin panas yang disampaikan Jokowi, untuk menyindir pihak tertentu.

Kubu Prabowo, disebut Inas, sebagai pihak kompor pembuat panas dalam proses Pilpres 2019. Menurutnya, kubu rival terkesan melakukan segala cara di pilpres kali ini, demi meraih kemenangan pada 2019. Apalagi, mengingat kubu lawan di Pilpres 2014, sudah pernah kalah.

"Nah, cara-cara yang tidak sehat seperti inilah yang namanya kompor, membuat suasana semakin panas. Tetapi, awas jangan sampai kompor sendiri meleduk ya! Bisa jadi, sebelum Pilpres 2019, malahan nyungsep dua kali," sebut Inas.

Baca: Elite Demokrat: Hampir Tiap Hari Jokowi Lontarkan Narasi Tak Berkelas

Namun, kritikan disampaikan dari kubu rival. Pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyindir ucapan ala Jokowi. Juru Bicara BPN, Jansen Sitindaon menyindir Jokowi seperti terkesan pengamat politik.

Status capres, sekaligus kepala negara, mestinya membuat Jokowi bisa menjaga diksi ucapannya. Ia menyinggung istilah sontoloyo, genderuwo, tabok, hingga banyak kompor, tak pantas disampaikan Jokowi yang notabene masih sebagai kepala negara.

"Bagaimana mau dingin, orang salah satu sumber kepanasan dan kompornya itu kadang keluar dari kata-kata pak Jokowi sendiri," jelas Jansen kepada VIVA, Senin 26 November 2018.

Berikutnya, Friksi Politik>>>

Friksi Politik

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono - SBY (kanan)

Jansen menyindir Jokowi bisa meniru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika di Pilpres 2009. Saat itu, SBY merupakan capres petahana yang berpasangan dengan Boediono.

Menurut Jansen, SBY bisa memposisikan dirinya, agar ucapannya tak menjadi polemik. Bagi dia, hal ini penting, karena soal kepemimpinan negara dalam lima tahun ke depan.

"Tahun 2009, Pak SBY maju lagi jadi calon presiden, juga sekaligus menjabat sebagai presiden. Persis posisinya seperti pak Jokowi saat ini. Dingin-dingin saja, keadaan saat itu," jelas Jansen.

Baca: Jubir Jokowi: Yang Mulai Kompor yang Bangun Narasi Pesimisme

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan, munculnya diksi Jokowi, karena friksi politik yang cukup tajam. Namun, ia melihat sebagai kepala negara, diksi banyak kompor buat panas kurang tepat disampaikan Jokowi.

"Agak kurang pas, karena ia kepala negara. Mestinya, cukup bicara yang normatif saja tentang pentingnya menjaga ukhuwah antarwarga," tutur Adi kepada VIVA, Senin 26 November 2018.

Adi mengingatkan status Jokowi masih RI-1, sehingga akan menjadi pusat perhatian. Segala sikap dan ucapannya akan disorot publik. "Karenanya, diksi ucapan yang terlontar, harusnya lebih terlihat sebagai negarawan. Apalagi, banyak orang yang saat ini sumbu pendek cepat emosional," tutur Adi.

Baca: Megawati: Jangan Pilih Pemimpin yang Menabok Rakyatnya

Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengkritik penyampaian para kontestan selama kampanye Pilpres 2019. Sisa masa kampanye kurang lima bulan, harus dimanfaatkan dua kubu untuk menyampaikan isu program dan perdebatan visi misi.

"Kampanye pilpres kali ini yang heboh. Banyak laporan ke aparat. Ini yang harus dievaluasi, instropeksi bersama," kata Hendri kepada VIVA, Senin.

Kemudian, pihak petahana disarankan bisa mengurangi attack (serang) kepada rival. Posisi incumbent, menurutnya, cukup mengoptimalkan klaim keberhasilan dan argumentasi rasional dari serangan lawan.

Baca: Diksi Kontroversi ala Petahana

Menurut dia, dalam komunikasi politik kampanye, petahana tak bagus sering attack rival. Apalagi, sebagai petahana akan diperhatikan rakyat dari sikap dan ucapan.

"Kan, rakyat jadi bingung juga. Di 2014, ngomong aku orapopo, lah sekarang sontoloyo, genderuwo, kompor panas. Ini ada apa kan jadinya," tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya