Mimpi Indonesia Miliki Ibu Kota Baru

Ilustrasi/Monumen Nasional
Sumber :
  • http://www.yandanesia.blogspot.com/

VIVA – Pemerintah kembali keluarkan wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia. Kali ini, Presiden Joko Widodo memutuskan memindahkan Ibu kota ke luar Jawa, dalam rapat terbatas di Istana, Senin 29 April 2019.

Aset Pemerintah di Jakarta yang Ditinggal ke IKN Wajib Diserahkan ke Kemenkeu

Keputusan yang diambil Jokowi tersebut keluar, setelah mendengarkan hasil dari kajian yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro. Dalam ratas tersebut, juga dihadiri sejumlah kepala daerah se-Jabodetabek.

Adapun dalam kajian Bappenas terdapat tiga alternatif menetapkan ibu kota baru. Yaitu, pertama, tetap di Jakarta, namun kawasan Monas dan Istana akan dibuat distrik khusus pemerintah. Kedua, memilih daerah di dekat Jakarta, seperti Jonggol atau Maja di Banten. Dan Ketiga, pemindahan ibu kota ke luar Jawa.

Di Rapat Paripurna, Demokrat dan PKS Minta Pemerintah Tunda Pemindahan Ibu Kota

Dikutip dari Instagram Presiden @jokowi, pada Selasa 30 April 2019, dijelaskan bahwa DKI Jakarta saat ini memikul dua beban sekaligus, yaitu sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, juga pusat bisnis. 

Untuk itu, Jokowi kemudian mempertanyakan, apakah di masa depan kota ini (DKI Jakarta) masih mampu memikul beban itu? Padahal, banyak negara telah memikirkan dan mengantisipasi arah perkembangan negara mereka di masa mendatang dengan memindahkan ibu kota negara. 

2024 Indonesia Ganti Ibu Kota dan 5 Negara Ini Alami Hal Serupa

"Contohnya Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan, dan lain-lain," tegas Jokowi.

Gedung perkantoran di Ibu Kota.

Selain itu, menurut Jokowi, gagasan memindahkan ibu kota sudah muncul sejak era Presiden Soekarno, dan selalu menjadi wacana di setiap era Presiden. Tetapi, tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang.

Dengan demikian, langkah pemindahaan ibu kota, kata Jokowi, tidak hanya mempertimbangkan manfaat jangka pendek semata, namun, terutama kebutuhan dan kepentingan negara dalam perjalanan menuju negara maju. 

Ia pun mengakui, pemindahan ibu kota adalah sebuah proses yang tidak singkat dan berbiaya besar. Di antaranya, mengenai pemilihan lokasi yang tepat, pertimbangan aspek geopolitik, geostrategis, serta kesiapan infrastruktur pendukung.

Jokowi menjelaskan, saat ini sudah ada tiga daerah yang akan dipilih untuk menjadi Ibu Kota Indonesia yang baru itu. Ketiganya, tentunya masih perlu pembahasan untuk segera diputuskan. 

"Ada tiga kandidat, tetapi memang belum diputuskan. Kita harus cek dong secara detail meskipun tiga tahun ini kita bekerja ke sana," jelas Jokowi, di sela sela mengunjungi PT KMK Sports I, Tangerang Banten, Selasa 30 April 2019.

Jokowi menuturkan, dalam rapat kabinet terbatas, memang menginginkan agar Ibu Kota Indonesia yang baru posisinya di tengah. Tidak terlalu ke barat atau ke timur. 

"Bisa di Sumatera, tetapi kok nanti yang timur jauh. Di Sulawesi agak tengah, tapi di barat juga kurang. Di Kalimantan kok di tengah-tengah. Kira-kira itu lah," katanya. 

Namun, untuk memutuskan tiga daerah itu, harus dikaji mendalam mengenai daya dukung lingkungannya seperti bukan masuk dalam jalur gempa. Lalu, ketersediaan air juga harus menjadi perhatian. 

Kalimantan Tengah Jadi Opsi Terbaik

Di tengah riuhnya keputusan Jokowi untuk memindah ibu kota ke luar Jawa, ternyata Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, justru sudah menyiapkan tiga lokasi kandidat ibu kota baru di provinsi itu, antara lain di Kota Palangkaraya, Kabupaten Gunung Mas, dan Kabupaten Katingan.

Hasil kajian yang sudah siapkan tersebut, kini sudah disampaikan kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, lalu diteruskan kepada Pemerintah Pusat, yakni Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Dari situ, tim khusus pemerintah Kalimantan Tengah, bahkan sudah menentukan dan memetakan lebih detail lokasi-lokasi yang dianggap strategis, serta cocok dijadikan kota baru untuk ibu kota negara, menggantikan Jakarta.

Tim khusus yang bekerja pada 2018 itu meliputi Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah X Palangkaraya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah, Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, dan lain-lain.

Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah tampak dari angkasa.

Berdasarkan data yang didapat dari BPHP Wilayah X Palangkaraya, lokasi calon ibu kota di Palangkaraya seluas 119.736 hektare, di Kabupaten Gunung Mas seluas 98.956 hektare, dan di Kabupaten Katingan 81.308 hektare.

Pejabat Pengendali Ekosistem Hutan Madya pada BPHP Palangkaraya, Seinly mengatakan, ketiga lahan calon ibu kota itu terkategori HPK (Hutan Produksi Konversi) alias lahan kosong dan belum dipakai untuk apa pun. 

Sekarang, lanjut dia, ketiga lahan itu berupa semak belukar dan memang tak difungsikan untuk apa pun, termasuk tidak untuk perkebunan atau pertanian.

Lahan-lahan itu dipilih berdasarkan dua kriteria utama, yakni datar atau tidak berbukit-bukit dan mudah dijangkau atau aksesibilitasnya baik. 

"Jadi, istilahnya (lokasinya) datar, dari segi aksesbilitasnya bagus, terjangkau dengan mudah. Belum difungsikan apa pun, masih kosong," katanya kepada VIVA pada Selasa, 30 April 2019.

Lahan di Palangkaraya, kata Seinly, terletak di bagian timur kota itu, dan lebih dekat ke arah Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur. Lokasi di Kabupaten Gunung Mas berada di selatan daerah itu. Sedangkan, lahan di Katingan, terletak di bagian barat.

Sementara itu, Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan rekomendasi Bappenas untuk pemindahan ibu kota ke pulau Kalimantan sangat tepat dilakukan.

Menurut dia, Kalimantan secara geopolitik dan geostrategis dianggap center of Indonesia, terlebih letaknya memang berada di tengah-tengah. Selain itu, pengembangan Kalimantan juga bisa membangun aglomerasi pertumbuhan kota-kota besar lainnya di sana.

"Misalnya, dengan ibu kota di sana bisa mendorong pertumbuhan Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, sama Tarakan, dan sebagainya," tegas Yayat kepada VIVA.

Ia menuturkan, dengan adanya kota utama di sana artinya percepatan pembangunan infrastruktur antar wilayah akan lebih terhubung. Kalimantan juga bisa tumbuh dengan basis kehutanan, pertambangan dan perkebunan.

Tak sampai di situ, lanjut Yayat, dengan pindah ibu kota maka remigrasi penduduk juga terjadi dan urbanisasi ke Jakarta semakin berkurang. "Kalau tahu aktivitas ekonomi mulau keluar Jawa maka beban Jawa tentu berkurang dan itu bisa juga mengatasi kesenjangan yang terjadi," tambahnya.


Pembiayaan Pembangunan Ibu Kota Baru 

Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, untuk membangun ibu kota baru, pemerintah menyadari bahwa pembiayaan yang dibutuhkan tidak sedikit.

Untuk itu, menurut dia, pembangunan kota baru yang dikhususkan hanya untuk Ibu kota tersebut tidak akan menggunakan seluruh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). 

Namun, untuk perencanaan awal, dikatakannya, pemenuhan biaya itu akan setengah-setengah menggunakan biaya APBN maupun swasta.

Bambang menegaskan, pemerintah akan berupaya seminimal mungkin menggunakan APBN. Untuk itu, cara optimal menekan biaya pembangunan adalah melakukan manajemen aset terhadap gedung pemerintah pusat yang akan ditinggalkan.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Adapun pembiayaan tersebut, akan dibutuhkan untuk bangunan-bangunan pemerintahan, baik eksekutif, yakni kementerian dan lembaga, legislatif yakni DPR, MPR dan DPD, serta yudikatif, yakni kehakiman, Kejaksaan dan MK, serta unsur pertahanan, yakni TNI dan Polri.

Selain itu, juga harus disiapkan pemukiman, terutama untuk PNS yang bekerja di lingkungan pemerintahan tersebut. Ada dua alternatifnya, yakni membangun kota dengan estimasi penduduk 1,5 juta orang dan atau 900 ribu orang. Sementara itu, luas lahan, antara 30 ribu hektare atau 40 ribu hektare.

Kemudian, kata Bambang, setidaknya terdapat dua skenario biaya yang dibutuhkan untuk membangun Ibu kota yang telah dipindahkan tersebut. Yakni, sebesar Rp466 triliun dan Rp323 triliun.

Skenario tersebut, bergantung dari besaran keputusan pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) pusat. Apakah dilakukan pemindahan keseluruhan atau akan dilakukan penyesuaian ulang terhadap kebutuhan ASN, agar tidak terlalu banyak (rightsizing).

"Bedanya skema satu dan dua itu pada jumlah ASN-nya. Kalau kami melihat salah satu aspek yang bisa dilakukan ketika kita pindah ke pusat pemerintahan, baru adalah rightsizing dari ASN," tegas Bambang.

Menunggu Kajian Lebih Matang

Sedangkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyatakan, meski pihak Bappenas sudah merencanakan proses pemindahan ibu kota dilakukan pada 2020, namun kebutuhan anggaran dalam APBN perlu penyesuaian.

Menurut dia, saat ini, perencanaan APBN 2020 telah memasuki tahapan pembahasan sejak awal 2019. Sehingga, pihaknya tentu ingin melihat lebih dahulu perencanaan yang lebih matang dari Bappenas.

"Isu tersebut kita akan lihat dulu, karena perencanaannya secara matang kan belum. Sementara, untuk Undang-undang APBN 2020 kan sekarang ini sedang direncanakan," katanya di Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa 30 April 2019.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati

Sedangkan Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Fitra) mengkritik keras rencana pemindahan ibu kota ini. Sebab, wacana ini dinilai tidak memiliki kajian yang serius dan tidak dipublikasi secara luas.

Bahkan, Sekretaris Jenderal Fitra, Misbah Hasan mengatakan, wacana ini tidak serius dan main-main, sehingga memecah konsentrasi pemerintah dalam membahas isu yang lebih krusial, misalnya pembangunan ekonomi inklusif, penanggulangan kemiskinan, pemerataan, dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.

Tak sampai di situ, Misbah memperkirakan anggaran memindah ibu kota yang ditaksir mencapai Rp446 triliun. Pasti akan mempersempit ruang fiskal dan biasanya pemerintah ambil jalan pintas dengan pendanaan melalui utang.

"Ini yang musti dikritisi, mengingat beban utang akan semakin berat, bunga utang Indonesia saja sudah 17 persen lebih dari total belanja APBN," tegas Misbah dalam keterangan tertulisnya, Selasa 30 April 2019.

Untuk itu, Misbah menuturkan, untuk melakukan pemerataan pembangunan sebaiknya tidak harus memindah ibu kota, tetapi menerapkan konsep pembangunan dan pertumbuhan inklusif, terutama di wilayah timur Indonesia. 

"Konsentrasi pada pembangunan Infrastruktur pada era kabinet kerja I sudah tepat, tinggal mengisi dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah prioritas pembangunan," ujarnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya