Menuju Negara Bahagia untuk Anak

Ilustrasi anak-anak
Sumber :
  • pixabay/stockpict

VIVA – Pertengahan November 2017, publik digemparkan dengan tewasnya seorang bocah laki-laki berusia lima tahun di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Anak itu tewas setelah disemprot obat nyamuk oleh ibunya.

Kota Bekasi Raih Predikat Nindya dalam Penganugerahan KLA 2022

Perkaranya sangat sepele, ibu korban yang berinisial NW dan berusia 32 tahun tak mampu menahan emosi karena anaknya tak berhenti ngompol dan menangis. Ia lalu menyemprotkan obat nyamuk ke wajah anak itu dan membekap wajahnya. Tangisan GW, bocah lima tahun itu lalu terhenti. Ia bukan tertidur, ia tewas di tangan ibunya sendiri.

Pekan berikutnya, masih di Kebun Jeruk, seorang ayah digelandang ke kantor polisi. Ia diduga melakukan kekerasan seksual pada dua anaknya yang berusia remaja, LP yang berusia 16 tahun dan L, yang berusia 14 tahun. Perbuatan bejat itu sudah ia lakukan selama dua tahun terakhir. Perbuatan biadab sang ayah terbongkar karena kedua anak itu akhirnya mengadu pada ibu mereka.

Sumatera Barat Bakal Bebas dari Iklan Rokok

Dua aksi kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anaknya seolah menguatkan laporan yang dirilis oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia atau LPAI. Ketua LPAI Seto Mulyadi mengatakan, sepanjang tahun 2017 ada 114 kasus kekerasan yang terjadi pada anak. "Pelaku didominasi oleh orang tua. 33 Persen pelaku adalah ayah, dan 21 persen pelaku ibu korban," ujarnya, Kamis, 28 Desember 2017.

Angka yang dirilis LPAI jauh lebih sedikit dibanding yang dirilis Komnas Perlindungan Anak. Ketua Umum Konmas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, sepanjang 2017 Komnas PA menerima 2.737 pengaduan kasus kekerasan pada anak. Menurut Komnas PA, angka ini menurun dibanding tahun lalu yang mencapai 3.339 kasus.

Jadi Kota Layak Anak, Indonesia Dicontoh Jepang dan ASEAN

"Dari angka 2.737 tersebut, 52 persen lebih didominasi kejahatan seksual, yang tidak hanya dilakukan orang per orang, tapi juga secara bergerombol atau disebut gang rape," ujarnya saat menggelar konferensi pers di kantor Komnas PA Pasar Rebo, Jakarta, Rabu 27 Desember 2017. Bentuk kekerasan seksual itu adalah perkosaan, pencabulan, inses, dan yang paling mendominasi adalah sodomi.

Arist juga mengungkapkan, korban anak laki-laki yang paling banyak menjadi sasaran predator, jumlahnya 59 persen. Sementara jumlah korban anak perempuan mencapai 40 persen. Mayoritas pelaku kekerasan pada anak adalah orang-orang terdekat, ujar Arist.

"Hampir 80 persen didominasi orang dekat. Pelaku kandung jumlahnya 91 dan tiri 66 pelaku, lainnya adalah dari teman, tetangga, guru, pacar, pengasuh, oknum aparat," ujarnya menambahkan.

Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, dalam keterangan tertulisnya yang dirilis pada 18 Desember 2017 mengatakan pihaknya menerima pengaduan 3.849 kasus selama 2017. Jumlah ini menurun dibanding 2016 yang menerima hingga 4.620 kasus.

Mimpi Negara Layak Anak

Laporan akhir tahun tentang kekerasan pada anak yang disampaikan oleh LPAI, KPAI dan Komnas PA ini seperti menjadi catatan kelam di tengah kampanye pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah anak.

Pemerintah Indonesia sudah menargetkan, Indonesia akan menjadi negara yang layak anak pada tahun 2030 nanti, sesuai dengan Sustainable Goals Development (SDG's) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.

Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan rasa optimisnya, Indonesia akan mampu mewujudkan keinginan itu. "Sudah ada 349 kota yang menginisiasi untuk menjadi Kota Layak Anak, ini kita masih ada pekerjaan rumah dari segi kuantitas, karena masih ada 160-an yang belum menginisiasi. Saya rasa, ini progres yang cukup baik untuk anak di Indonesia," ujarnya kepada VIVA, 26 Desember 2017.

Lenny menambahkan, saat ini, pihaknya terus melakukan advokasi, sosialisasi, dan pendampingan untuk mendorong target Indonesia layak anak 2030. Meski demikian, dia mengatakan bahwa target itu akan sulit tercapai jika hanya dari pemerintah yang berpartisipasi. "Ini semua tergantung daerah merespons bukan hanya Pemda-nya, tetapi komponennya juga bergerak untuk membangun ini harus keroyokan," kata dia.

Meski optimis, pemerintah juga mengakui, masih ada tantangan yang harus segera diselesaikan untuk mewujudkan mimpi menjadi negara layak anak. Selain masih tingginya kasus kekerasan dan kekerasan seksual, hingga saat ini, angka perkawinan anak di Indonesia juga masih tinggi. Selain itu problem akte kelahiran yang masih belum 100 persen, masalah kesehatan dan gizi anak, putus sekolah, ruang kreativitas yang masih kurang, dan masih ada anak-anak yang menjadi pekerja dengan berbagai alasan.

Problema itu wajib diselesaikan sebelum mendeklarasikan dan memastikan diri bahwa negara ini sudah menjadi negara yang layak anak.

Selain hal diatas, KPAI juga mencatat fenomena baru, yaitu anak yang tumbuh dengan potensi menjadi radikal. Ketua KPAI Susanto mengatakan, anak menjadi radikal karena pola asuh yang keliru, lingkungan, dan munculnya gerakan radikal. Anak pun bisa berubah radikal hanya berdasarkan informasi dari internet, materi bacaan, keluarga, dan bahkan sekolah.

Itu sebabnya Susanto berharap pemerintah bisa memastikan tak ada guru atau sekolah berpandangan radikal. Orang tua pun harus menjamin pola pengasuhan untuk anaknya cukup ramah. “Dalam sejumlah kasus, guru radikal rentan diimitasi anak,” katanya.

Kota Layak Anak

Meski sejumlah tantangan menghadang, namun pemerintah terus bergerak untuk mewujudkan mimpi itu. Menteri Perempuan dan Perlindungan Anakk Yohana Susana Yambise menyampaikan, saat ini dari 524 kabupaten/kota, sudah ada 302 kabupaten/kota yang memenuhi kriteria menuju kota layak anak.

Memang belum semua kabupaten/kota memenuhi kriteria, namun Menteri PPPA optimis bisa memenuhi target di tahun 2030. Tekad Indonesia juga dibuktikan dengan menjadi anggota kerjasama global untuk perlindungan akan di dunia.

Bulan November tahun 2016, Indonesia juga menjadi tuan rumah untuk ASIAN Forum on The Rights of The Child (AFRC) di Bali. Ini adalah forum rutin setiap dua tahun yang dihadiri perwakilan negara-negara di Asia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sebagai wadah bertukar informasi, permasalahan dan upaya dalam rangka pemenuhan hak anak.

Indonesia dipilih sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan AFRC yang keempat ini, karena dianggap menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan konvensi hak anak. Salah satunya dalam mengimplementasikan hak anak khususnya di tingkat daerah melalui program Kota/Kabupaten Layak Anak. Indonesia dianggap dapat menjadi role model konsep tersebut.

Bagaimana pun, perwujudan negara layak anak melalui Kota Layak Anak adalah sebuah upaya pencegahan agar anak-anak bisa hidup tenang dan nyaman. Anak-anak sering kali berhadapan dengan hukum seperti kekerasan, trafficking, pekerja anak, dan banyak masalah anak lainnya yang memerlukan perlindungan khusus anak.

Maka pencegahan dibangun dalam bentuk kota atau kabupaten layak anak. "Membangun anak didasarkan pada Konvensi Hal anak yang berlandaskan pada Undang-Undang. Pemenuhan hak anak dari konvensi itu fokus pada pencegahan agar perlindungan anak tidak perlu muncul," ujar Lenny N Rosalin, kepada VIVA di Jakarta, 28 Desember 2017.

Lenny menekankan, kota layak anak merupakan sebuah sistem yang tujuan akhirnya adalah memenuhi hak anak, menjaga dan melindungi anak, agar anak tak menjadi korban.

Jika hak anak terpenuhi dan mereka tak menjadi korban, mereka dapat tumbuh sehat dan bahagia, maka mereka akan tumbuh menjadi sumber daya yang tangguh. Dan sumber daya yang tangguh akan menjamin negara ini bisa menciptakan pembangunan yang optimal.

Membesarkan, mengasuh, dan memberikan perlindungan pada anak memang bukan semata untuk kemaslahatan negara. Namun untuk membuat anak-anak itu tumbuh dengan rasa aman, tenang, dan berbahagia, dan tetap tumbuh dengan indah, tanpa kekerasan, diskriminasi, dan kebencian. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya