Kanker Sepakbola Indonesia

Para pemain Timnas Indonesia usai kalah dari Thailand di ajang Piala AFF 2018
Para pemain Timnas Indonesia usai kalah dari Thailand di ajang Piala AFF 2018
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Permainan yang sampai menarik perhatian publik luar negeri. Ketika SEA Games 2017, tim VIVA pernah berbincang dengan beberapa pewarta Malaysia. Mereka mengaku kaget dengan perkembangan Indonesia di era Milla.

Para pewarta Malaysia merasa Indonesia bisa menjadi juara di cabang olahraga sepakbola SEA Games 2017 saat itu. Bahkan, ketika Indonesia melakoni laga semifinal melawan Malaysia, banyak dari mereka yang memprediksi tuan rumah akan kalah.

Pun dengan beberapa sopir Grab di sana. Mereka menganggap Indonesia punya permainan menghibur dan mematikan.

"Indonesia mainnya bagus. Elok dilihat, tak bosan rasanya. Pemainnya pun hebat," ujar salah satu pewarta Malaysia yang berbincang dengan tim VIVA ketika itu di tribun media Stadion Shah Alam.

Sial, Indonesia kalah dalam semifinal tersebut. Tandukan Thanabalan Nadarajah di menit-menit akhir pertandingan membuat publik Indonesia yang hadir di Shah Alam Stadium lemas.

Bergeser ke 2018, skuat asuhan Milla kembali mencuri perhatian, yakni di Asian Games. Permainan apik dengan gaya atraktif yang penuh percaya diri, membuat publik begitu kagum.

Meski pada akhirnya gagal melangkah lebih jauh, permainan skuat Indonesia telah mencuri perhatian publik. Berbagai pujian dilontarkan kepada Hansamu Yama Pranata dan kawan-kawan.

Pelatih Timnas Indonesia U-22, Luis Milla Aspas (ketiga dari kanan)

Namun, dua bulan kemudian, pujian justru berubah menjadi kekecewaan. Skuat yang hampir sama, main di Piala AFF. Hasilnya melempem, Indonesia tersingkir sejak fase grup.

Yah, beda koki. Karena, Milla tak lagi menangani Indonesia. Banyak yang merasa kegagalan Indonesia lantaran PSSI tak becus bernegosiasi dalam memperpanjang kontrak Milla.

Setelahnya, PSSI malah menunjuk Bima Sakti Tukiman sebagai pelatih. Pilihan panik? Alibi PSSI adalah meneruskan apa yang dibangun oleh Milla karena Bima dianggap sudah paham karakter, gaya main, taktik, dan strategi Milla.

"Meneruskan" bukan pilihan kata yang tepat. Sebab, beda koki pasti beda resep. Pemain layaknya bumbu dalam sebuah masakan.

Bagaimana resep itu bisa jadi enak dan sedap disantap? Ya, dimasak oleh koki yang mapan pula. Kalau seorang koki tiba-tiba meninggalkan masakannya, lalu diberikan ke orang lain yang belum berpengalaman dalam memasak, apa yang terjadi? Belum tentu enak juga kan?

Itulah yang terjadi dengan Indonesia. Bukannya Bima tak mapan, tapi masih butuh waktu. Sebab, selama menjadi asisten Milla, belum semua ilmu diserap olehnya.

"Perlu pelatih yang tepat dalam mengelola pemain," terang Riedl.

"Pelatih bukan cuma soal memilih pemain, tapi juga masalah pemilihan taktik. Ketika Timnas bermain di era Bima dan kawan-kawan, cara mainnya cuma itu-itu saja. Pergantian pemain pun tak membuat perubahan," ujar pengamat sepakbola, Supriyono Prima.

Jadi, kegagalan di Piala AFF kali ini salah Bima? Tidak. Kompleks sekali jawabannya.

Bukan Bima yang harus kita salahkan. Warganet, di media sosial, terlalu mudah melontarkan tagar #BimaOut. Tapi, lihat dulu situasi yang sebenarnya.

"Saya ini layaknya anak SMP. Tapi, sudah diberikan soal ujian universitas," ucap Bima usai laga Indonesia versus Filipina.

PSSI seharusnya bisa lebih bijak dalam penentuan pelatih di Piala AFF kali ini. Acap kali, PSSI memasang target tinggi, namun proyek jangka panjangnya tak berjalan alias mau instan.

Kasus Bima, PSSI baru menunjuknya kurang dari sebulan Piala AFF digulirkan. Paham, Bima sudah bekerja dengan Milla hampir dua tahun lamanya. Tapi, menyerap ilmu seorang pelatih kelas dunia dalam waktu dua tahun, belum tentu bisa.

Halaman Selanjutnya
img_title