Pilpres 2019 di Bawah Bayangan Politik Identitas

- VIVA/Tim Desain
VIVA – Akhirnya, tahun politik itu tiba. Persaingan berebut kekuasaan yang sudah dirasakan sepanjang 2018 akan mencapai puncaknya pada 2019 ini.
Pemilihan Presiden yang akan digelar bersamaan dengan Pemilihan Legislatif pada Rabu, 17 April 2019, hanya berjarak empat bulan dari sekarang. Siapa yang muncul sebagai pemenang di antara dua pasangan calon yang tengah berkompetisi, apakah sang petahana, Joko Widodo-Maruf Amin, ataukah si penantang, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, akan segera diketahui.
Dari sengitnya pertarungan politik antarpendukung masing-masing capres-cawapres itu, ada satu hal yang masih terasa cukup kental sampai saat ini yaitu nuansa politik identitas. Situasi tersebut sebenarnya tidak hanya muncul hari-hari ini saja. Tapi sudah mulai muncul saat Pilkada DKI Jakarta, dua tahun lalu.
Publik bisa melihat, bagaimana gerakan Bela Islam 212 yang dahulu berhasil mengirim Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, masuk ke penjara dalam kasus penistaan agama, dan sukses membuatnya kalah di pilkada tidak hilang begitu saja sampai hari ini. Kelompok tersebut justru terus mengonsolidasikan diri dengan membuat kegiatan-kegiatan bertajuk reuni.
Tak hanya gerakan 212, polemik mengenai soal yang berbau agama lainnya juga muncul. Misalnya, muncul usulan dari La Nyalla Mattalitti, mantan pendukung Prabowo yang pindah mendukung Jokowi, agar Prabowo dan Jokowi diadu sebagai imam salat. Dari sanalah bisa diketahui, siapa yang lebih Islami.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, kontestasi antara dua pasangan capres–cawapres di tahun 2019 ini akan semakin sengit. Menurutnya, Januari merupakan titik awal kedua paslon untuk berkampanye dengan lebih serius.
"Waktu hanya tinggal empat bulan lagi. Jadi mereka akan tancap gas kampanye di Januari, dan itu tentu akan semakin memanaskan situasi yang memang sudah panas," kata Ujang saat dihubungi VIVA, belum lama ini.
Namun, dia mengingatkan kedua paslon tetap memiliki kewajiban moral untuk melakukan kampanye damai. Tidak saling serang dan tidak mengompor-ngompori situasi. Terkait apakah SARA dan politik identitas akan mewarnai Pilpres dan Pileg 2019, Ujang memprediksi kemungkinan akan muncul lagi. Bahkan bisa saja dihembuskan semakin kencang untuk saling menjatuhkan.