VIVA – Monumen Selamat Datang menjulang kokoh di kawasan Bundaran HI, Jakarta. Terdapat patung seorang pria dan wanita di sana. Keduanya tampak melambaikan tangan. Satu tangan lainnya sang pemudi memegang rangkaian bunga sebagai tanda penyambutan.
Diresmikan Presiden Soekarno pada 1962, patung itu dibuat untuk menyambut para atlet yang akan berlaga di ajang olahraga Asian Games IV. Salah satu ikon Jakarta itu masih tegak berdiri hingga kini, seakan tak lelah menyambut siapa saja yang hadir di Ibu Kota.
Masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan lainnya, datang ke Jakarta. Tujuan mereka pun beragam. Dari sekadar melancong hingga mengadu nasib di Ibu Kota.
Sejarawan Yahya Andi Saputra menyebutkan, Jakarta dulu merupakan kota bandar, yang disebut Bandar Kelapa. Kemudian ketika kerajaan Sunda Pajajaran berkuasa, maka nama itu berubah menjadi Sunda Kelapa. “Jadi kota bandar itu artinya kota yang sangat terbuka,” ujarnya kepada VIVA, Kamis, 20 Juni 2019.
Sebagai kota bandar, menurut Yahya, Jakarta merupakan kota yang sangat terbuka sehingga memungkinkan banyak orang dari segala suku dan bangsa datang. Dengan keterbukaan itu, kota ini dikenal sebagai kota multikultur.
Batavia
Di dalam kota itu ada orang Betawi. Mereka berusaha menempatkan dirinya sebagai satu etnik yang menjadi sabuk penguat. “Menjadi kabel penghubung, yang menjadi koridor-koridor yang dibangun sehingga orang menjadi suka di situ,” ujar Yahya.
Dahulu, menurut Budayawan Betawi Ridwan Saidi, pusat kota Jakarta berada di pelabuhan Sunda Kelapa. “Pusatnya itu pusat kota, kegiatan hiburan, seni, itu semua di daerah Sunda Kelapa,” ujarnya.
Pelabuhan Sunda Kelapa yang pertama itu terdapat di Muara Kali Adem. Lokasinya di antara Kapuk Muara dan Pluit Muara Angke. Lalu karena banyak rob dipindah ke Kali Besar Pasar Ikan.