SOROT 66

Sudah Berlangsung Sejak Zaman Inlander

VIVAnews - Penjara itu berlantai tiga, paling bawah aula, sedangkan ruang sel berlokasi di lantai dua dan tiga. Terletak di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, penjara itu sunguh sumpek. Kapasitasnya yang cuma 224 orang dijejali 815 tahanan. Di penjara Salemba ada 32 sel tipe tujuh, artinya setiap ruang tahanan, yang berukuran 5 x 7 meter, diisi sekitar tujuh tahanan.

Kenyataannya, hingga Jumat 15 Januari 2010, setiap ruang tahanan dihuni 25 tahanan. “Jadi Anda bisa melihat bagaimana over kapasitasnya,” kata Kepala Urusan Umum Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Soekarno Ali. Tetapi jangan salah duga, ini bukan penjara terburuk di Indonesia. Malah sebaliknya. "Ini adalah LP percontohan,” kata Soekarno.

Jika yang percontohan saja seperti itu, bagaimana wujudnya penjara yang biasa-biasa saja? Penjara Cipinang, Jakarta Timur, misalnya, merupakan prodeo kelas satu dengan kapasitas 1.500 orang, tetapi dihuni 2.700 tahanan. “Pasokan air saja pernah tak cukup ke sini,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar.

Menurut data resmi dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini di Indonesia ada 132.372 tahanan yang berjejal di seluruh penjara yang cuma berkapasitas 90.853 tahanan. Di kota-kota besar, isi penjara meluap sampai 300 persen, salah satunya di Penjara Salemba itu. “Kalau mereka tidur, seperti teri yang dijejerkan,” kata Patrialis.

**

Penjara di Indonesia sudah mulai berdiri sejak 1905-1921, yaitu sejak munculnya upaya memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa yang tersebar di mana-mana di dalam pusat-pusat penampungan wilayah (Gewestelijke Centralen).

Penjajah Belanda menerapkan kebijakan ini bukanlah karena bermurah hati, melainkan untuk menekan angka pelarian narapidana. Salah satu Gewestelijke Centralen itu adalah Penjara Cipinang. Adapun Nusakambangan, difungsikan sebagai tempat terpidana kerja paksa.
Saat itu tercatat ada 331 tempat penampungan tahanan, termasuk 106 tempat di Jawa dan Madura. Kondisi seperti ini bertahan hingga penjara sentral berubah status menjadi strafgevangenissen yaitu penjara-penjara pelaksana pidana, pada 1920.

Tetapi, kondisi yang tercermin di Salemba yang menjejal tahanan sampai 25 orang per sel itu sudah terjadi dalam periode Gewestelijke Centralen. Pada tahun itu, ada 37.109 tahanan yang menghuni penjara di Jawa dan Madura, di luar Jawa dan Madura mencapai 19.897 orang. Penjara juga sudah sesak di mana-mana.

Kondisi ini hanya untuk inlander atau warga pribumi. Dalam sistem inilah mulai muncul jagoan di penjara, dan juga homoseksual. Bahkan gejala, penjara adalah tempat berguru untuk menjadi penjahat tangguh juga sudah mulai berlangsung. Tetapi itu tak terjadi dengan narapidana berkebangsaan Eropa. Sebab bagi mereka disediakan kamar perorangan, paling banyak untuk lima orang.

Masuk periode Jepang, kantor pusat kepenjaraan di Jakarta disebut Gyokeyka, yang dikepalai oleh orang Jepang (gyokey kacho). Sedangkan di daerah karesidenan dipimpin seorang Jepang yang disebut Tosei Keimukantotukan. Pada masa ini perlakuan terpidana sangat buruk. Banyak narapidana tewas.


Di Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha, untuk pembuatan kapal-kapal atau sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran, seperti stetoskop. Pada tahun 1944, rata-rata, dalam satu hari 25 orang terpidana tewas di rumah penjara Cipinang.

Sejak 17 Agustus 1945, penjara masuk periode zaman kemerdekaan. Istilah pemasyarakatan menggantikan kepenjaraan sejak 27 April 1964. Konsep ini digagas Menteri Kehakiman Saharjo. Tugas lembaga pemasyarakatan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun juga mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

**

Sayangnya cita-cita Saharjo hingga kini belum terlihat hasilnya. Bahkan kondisi lembaga pemasyarakat boleh dikatakan kembali lagi ke zaman penjajahan. “Bahkan lebih tidak manusiawi,” kata Patrialis Akbar. Sebagian sipir penjara, malah memanfaatkan kondisi itu untuk memeras para tahanan.

Terjadilah perbedaan pelayanan untuk tahanan. Tahanan kaya akan mendapat fasilitas berlebihan, sebaliknya yang miskin akan bernasib apes. Salah satu contoh kasus yang terungkap perlakuan terhadap Artalyta Suryani, terpidana kasus suap. Dia masuk penjara lantaran menyuap seorang jaksa untuk membereskan perkara BLBI Sjamsul Nursalim.

Mulia Banget! Usai Belajar Islam, Pendeta Brian Siawarta Ingin Layani Umat Muslim

Penguasaha wanita ini mendapatkan faslitas mewah, ruangan berpendingin udara, televisi, meja kantor, dan kulkas. Perkara seperti Artalyta ini sebenarnya juga bukan cerita baru, pada 1996 juga dirasakan Eddy Tansil, bos Golden Key Group yang menilap duit negara Rp. 1,4 triliun. Fasilitasnya yang ia terima bedanya bagaikan bumi dengan langit jika dibandingkan dengan narapidana di penjara Salemba yang dijejal 25 orang dalam satu kamar, mirip masa inlander zaman penjajahan.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga pernah menyoroti perlakuan negara terhadap para tahanan di penjara Indonesia. Pengacara hak asasi manusia sekaligus pelapor khusus PBB bidang penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi, Manfred Nowak melaporkan adanya perlakuan tak wajar.

BYD Akhirnya Punya Lahan 108 Hektar untuk Pabrik di Indonesia

Tak hanya kurang mendapatkan makanan dan obat-obatan, tahanan dipaksa membayar 'uang harian' untuk akomodasi yang mereka terima di dalam penjara, begitu bunyi laporan Nowak. Penyiksaan jasmani sering digunakan di dalam penjara untuk mendisiplinkan para tahanan.

Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024 Digelar di USU.(dok USU)

Sebanyak 37.169 Peserta Mengikuti UTBK-SNBT 2024 yang Digelar di USU

“Pengumuman hasil SNBT direncanakan akan dilakukan pada tanggal 13 Juni 2024, dengan masa unduh sertifikat SNBT yang berlaku dari tanggal 17 Juni hingga 31 Juli 2024.”

img_title
VIVA.co.id
30 April 2024