SOROT 580

Menikah Tanpa Masalah

Petugas Puskesmas memberikan konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin yang ingin membuat sertifikat layak kawin di Puskesmas Sawah Besar, Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Senyum Restu Diantina Putri merekah. Pembicaraan soal pernikahan selalu membuatnya bergairah. Sebab tahun depan, hajat besar itu akan ia tunaikan. 

Cerita Lain dari Pernikahan Vincent dan Vior

Semua perlengkapan dan kebutuhan untuk hajatan sudah dicicil. Gedung, desain undangan, berapa jumlah undangan yang akan dicetak, katering, baju pengantin untuk adat dan resepsi, hingga suvenir pernikahan, semua sudah mulai dianggarkan dan dieksekusi pelan-pelan.

Demikian juga untuk rencana lamaran, hingga bulan madu, semua telah dirancang dan diatur jauh hari. "Semoga enggak ada halangan dan lancar hingga hari H," ujar Restu dengan mata berbinar-binar.

Sandiaga Uno Bocorkan Momen Pengajian Jelang Pernikahan Rio Haryanto dan Athina Papdimitriou

Tapi, mata penuh binar dan senyum lebar Restu langsung menyusut ketika ditanyakan soal rencana pemerintah yang akan memberlakukan sertifikasi nikah. Ia terdiam beberapa saat. 

Cincin pernikahan.Cincin Pernikahan

Profil Putri Zulhas, Anggota DPR RI yang Siap Dipersunting Zumi Zola pada Akhir Tahun Ini

Bola matanya berputar, lalu mengembuskan napas pelan. Menurutnya, pelatihan sebelum pernikahan ide yang bagus dan penting, karena pernikahan memang butuh persiapan matang dan enggak sekadar halal. Namun, ia belum memahami apakah tujuan pemerintah sama seperti yang ia pikirkan.

Perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta itu lalu berceloteh tentang pentingnya pengetahuan soal kesehatan reproduksi, manajemen finansial, dan manajemen konflik berumah tangga. Dan hal itu yang menurut Restu sangat penting didahulukan. 

Bukan sekadar pelatihan yang hanya memajukan nilai tradisional selama ini, tentang istri yang harus menurut pada suami, atau mengedepankan suami sebagai pemimpin rumah tangga. Isi pelatihan harus diperhatikan, apakah itu hal yang dibutuhkan pasangan yang akan menikah atau tidak.

"Tujuan pelatihan harusnya bukan menghindarkan perceraian, tapi bagaimana mencegah terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 21 November 2019.

Apa penyebab terjadinya perceraian, itu yang harus dilihat. "Dan (pelatihan) jangan diwajibkan. Kalau wajib, seolah kalau enggak lulus enggak akan bisa nikah," tuturnya.

Restu juga mempertanyakan, berapa lama waktu pelatihan. Sebab, bagi calon pasangan yang sama-sama bekerja seperti dia dan kekasihnya, mereka nyaris kesulitan mencari waktu untuk bisa ikut pelatihan semacam itu.

Calon pengantin lainnya, Sania Washabi, menolak adanya pemberian sertifikat. Ia setuju ada pembekalan, namun menurutnya, tak perlu ada sertifikat yang diberikan. Sania merasa tak melihat ada urgensi untuk sebuah sertifikat bagi calon pengantin.

"Untuk apa? Kalau setelah pembekalan, dianggap tak layak dan tak diberikan sertifikat, terus apa? Enggak boleh nikah gitu?" ujarnya. 

"Lalu, apa kabarnya gedung, katering, undangan, dan lain-lain yang sudah di-booking? Kan sudah keluar uang, masa nikahnya enggak jadi?" ujar Sania yang lebih terdengar bernada protes.

Menko PMK Muhadjir Effendy usai upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa, 1 Oktober 2019.Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy

Sertifikasi pernikahan diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Mantan menteri Pendidikan itu mengeluarkan pernyataan bakal mewajibkan pasangan yang akan menikah, untuk mengantongi sertifikat nikah. 

Tujuan pemberian sertifikat itu untuk memastikan bahwa mereka memang pasangan yang sudah siap lahir batin untuk melakukan pernikahan.

Menurut Muhadjir, kebijakan itu diambil untuk meningkatkan kualitas pernikahan setelah pasangan baru membangun bahtera keluarga. Direncanakan, pengadaan sertifikat pernikahan itu akan mulai diberlakukan pada 2020. 

Rencana itu pun memicu pro dan kontra. Sebab, negara dinilai mempersulit orang yang akan menikah. Selain itu, negara dianggap terlalu ikut campur urusan warganya.

Program Prematur yang Dipaksakan

Direktur Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan (LKAB) Nusantara, Fadhli Harahap, menganggap rencana pemerintah menerapkan sertifikasi nikah bagi pasangan yang akan melangsungkan akad sebagai hal yang terburu-buru. Rencana itu juga dirasa belum mendesak untuk segera diterapkan.

Menurut Fadhli, rencana tersebut dikhawatirkan menjurus pada hal-hal privasi, yang memungkinkan terganggunya kemeriahan dan kekhidmatan pesta perkawinan. "Sulit dibayangkan, jika pasangan calon pengantin gagal nikah karena tidak lulus sertifikasi nikah. Padahal, upacara pernikahan sudah dirancang jauh hari sebelum mengikuti kegiatan pranikah tersebut," ujarnya.

Ia juga menganggap soal teknis pelaksanaan yang masih sangat prematur, padahal Muhajir berencana memberlakukannya tahun depan. Fadhli malah memprediksi rencana ini tak akan diminati oleh calon pasangan pengantin. 

Pernikahan tema Harry PotterIlustrasi: Undangan Pernikahan

Bukannya antusias yang didapat, justru dikhawatirkan sepi peminat. Dan dipastikan banyak pasangan calon yang gagal karena tidak mengikuti kewajiban sertifikasi nikah.

"Dalam konteks sertifikasi nikah, saya menilai, pemerintah tidak perlu lagi menambah-nambah kegiatan yang akan memberatkan pasangan calon pengantin. Apalagi kalau sertifikasi nikah ini diwajibkan," tuturnya.

Menurut Fadhli, kelanggengan sebuah pernikahan tidak tergantung dari hasil sertifikasi nikah, kebahagiaan pasangan juga tidak diukur dari hasil kursus singkat pranikah. Jadi, dia menambahkan, sertifikasi nikah itu bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam keluarga.

Ia justru menyarankan agar pemerintah melihat dan mempelajari kembali kearifan lokal termasuk adat istiadat dan budaya di setiap daerah. Karena biasanya sudah ada juga soal persiapan sebelum menikah. 

Dengan menggunakan kearifan lokal, ujarnya, pemerintah tidak perlu lagi membuat kursus singkat seperti seminar di kelas untuk dapat mengurangi angka perceraian, mengatasi stunting atau nasihat-nasihat seputar keluarga bahagia.

"Justru, pemerintah diharapkan berperan penting ikut menguatkan kearifan lokal tersebut dengan mengemas materi secara menarik. Bersinergi dan ikut membina calon mempelai agar kelak menjadi keluarga yang kuat dan bahagia," kata dia.

Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto  menyatakan menolak pemberlakuan sertifikat pernikahan. Ia menganggap sertifikasi pernikahan adalah hal yang tak perlu. 

Ketua Komisi VIII, Yandri Susanto.Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto

Dan jika diberlakukan dengan paksa hanya akan menimbulkan kegaduhan publik. Menurut dia, hal tersebut sangat aneh, sebab jika dimaksudkan untuk menurunkan angka perceraian, hal tersebut juga tak bisa menjadi jaminan.

"Misalnya jika diberlakukan tahun 2020. Lalu ada yang mendapat sertifikat, lalu menikah, tapi setahun kemudian tetap bercerai. Lalu apa? Apa ada sanksi? Apa fungsi negara?" dia mempertanyakan.

Yandri menilai program tersebut menunjukkan negara terlalu campur tangan dengan urusan privat warga. Negara, menurutnya, tak perlu menentukan apakah seseorang layak atau tidak layak menikah. 

Ia yakin tak ada relevansinya antara sertifikat dan perceraian serta pernikahan. Tak perlu ada campur tangan pemerintah karena urusan pernikahan dan perceraian, menurut Yandri adalah urusan Tuhan.

Ia meminta agar rencana tersebut tak diteruskan, karena menyebabkan birokrasi yang semakin panjang hanya untuk urusan pernikahan. "Birokrasi yang semakin panjang, cenderung jadi lahan korupsi. Mereka yang ingin jalan pintas agar bisa dapat sertifikat menikah pasti akan memilih membayar," ujar dia. 

Yandri yakin, secara substansi program tersebut tak akan berhasil, tapi malah memperpanjang birokrasi dan merepotkan masyarakat.

"Saya sebagai ketua Komisi VIII, termasuk dari Fraksi PAN menolak untuk ada sertifikasi pranikah itu. Sekali lagi tidak ada manfaatnya justru mudaratnya lebih banyak," Yandri menegaskan.

Bukan Syarat Pranikah

Deputi Koordinasi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Sartono, mengajak untuk melihat rencana ini sebagai bagian dari visi pemerintah untuk menyiapkan SDM unggul, sehingga perlu dilihat secara utuh, bukan parsial.

Agus menjelaskan, pendidikan pranikah bukan hal baru, itu sudah sudah dilakukan sejak tahun 90-an. "Leading sector-nya Kementerian Agama, kita melihat kekinian tantangan makin berat, maka kita merevitalisasi kembali program pendidikan pranikah itu, dengan cara menyempurnakan materi yang perlu dipahami oleh para calon pengantin baru," ujarnya.

Ia memaparkan, setiap tahun ada dua juta pasangan pengantin baru. Menurutnya, mereka harus dibekali tentang pemahaman membina rumah tangga termasuk pelajaran soal reproduksi supaya bisa memiliki anak-anak yang sehat dan kuat. Selain itu,memiliki pemahaman mengenai arti penting dan peran strategis dalam kehidupan.

Petugas Puskesmas memberikan konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin yang ingin membuat sertifikat layak kawin di Puskesmas Sawah Besar, Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019.Sertifikat Layak Kawin

Kementerian Agama juga sudah memulai program tersebut sejak 2017 secara bertahap. Meski jumlah fasilitator terbatas, program itu tetap berjalan  pada 2018, dan meluas hingga menjangkau 34 provinsi. Meskipun tak berhasil menjangkau seluruh Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia yang berjumlah hampir 6.000 KUA.

Untuk menyempurnakan rencana itu, maka perlu sinergi antara Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hingga pemerintah daerah. 

Apalagi, Kemenag juga memiliki 45 ribu penyuluh yang bisa diberdayakan, termasuk menggunakan kearifan lokal agar penyuluhan di pelosok lebih mudah dipahami oleh para calon pasangan pengantin yang akan menikah. Tujuannya, mereka paham bagaimana menjadi orangtua.

Agus juga mengingatkan pentingnya memberikan pemahaman soal perencanaan keluarga. Sebab, jika tidak dimulai sejak sekarang maka bonus demografi berupa ledakan penduduk sangat berpotensi terjadi. 

Selain itu, pembekalan ini akan diberlakukan untuk semua agama. Tidak akan diskriminasi karena tujuannya adalah melahirkan generasi yang lebih baik, apa pun agamanya.

Ternyata bukan hanya Kementerian Agama yang sudah menjalankan program pembekalan pranikah. Hal yang sama juga sudah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Bahkan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama sudah melakukan kerja sama selama dua tahun terakhir.

Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Kirana Pritasari, memastikan program seperti itu sudah berjalan lama di Kemenkes, hanya saja belum menjadi program nasional.

Kirana menjelaskan, program itu lebih berbentuk penyuluhan dari Puskesmas kepada calon pengantin agar mereka mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi, tentang gizi, dan seputar tugas orangtua jika nanti pasangan tersebut telah menikah. 

Calon pengantin mengikuti konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk membuat sertifikat layak kawin oleh petugas Puskesmas di Puskesmas Sawah Besar, Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019.Calon pengantin mengikuti konseling dan cek kesehatan untuk membuat sertifikat layak kawin di Puskesmas

Program ini juga diberikan secara gratis oleh Puskesmas setempat, bekerja sama dengan KUA. Bahkan, Kemenkes juga sudah mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan surat sehat sebelum menikah yang akan dikeluarkan oleh Puskesmas.

"Untuk Kementerian Kesehatan, program yang disiapkan adalah memastikan kesehatan calon pengantin. Misalnya, apakah calon pasangan memiliki penyakit," ujar Kirana.
 
Jika ada, setelah menikah mereka disarankan untuk memperbaiki dulu kondisi kesehatannya sebelum sang ibu hamil.

Ia berharap upaya ini menjadi program nasional, sehingga petugas di lapangan seperti dari Puskesmas dan KUA bisa ikut dilibatkan. Karena, mereka adalah lapisan terdekat dengan masyarakat. 

Kirana mengatakan, meski kerja sama dengan Kementerian Agama sudah mulai dilakukan selama dua tahun terakhir, berdasarkan pelaksanaan, belum semua KUA melakukan penyuluhan dengan maksimal.

Ia juga mengaku tak terlalu paham maksud Menteri Muhadjir Effendy soal sertifikasi. Apakah maksudnya harus formal terpenuhi, atau ada maksud lain. Ia hanya berharap setiap pasangan yang akan menikah memang sudah siap dengan kondisi kesehatannya.

"Ini supaya menjamin semua calon pengantin dapat kesempatan itu. Kalau sertifikasi itu diartikan harus, kalau kemudian tidak bisa dapat sertifikasi, kemudian tidak boleh menikah, rasanya belum sampai sejauh itu," ujarnya.

Direktur Bina KUA Kementerian Agama, Mohsen, jjuga menegaskan bahwa apa yang dilakukan nanti adalah penyempurnaan dari yang sudah dilakukan selama ini. Dan, itu bukanlah sertifikasi pranikah. 

Ia meminta agar isu tersebut tidak dibelokkan sebagai sebuah syarat untuk bisa menikah. Sebab, bukan itu tujuannya. Karena, meski ada angka dua juta pasangan yang menikah setiap tahun, tapi kemampuan Kementerian Agama menjangkau mereka hanya 10 persen.

"Saya tegaskan, bukan sertifikasi pendidikan pranikah. Artinya, kalau seseorang mengikuti pendidikan pranikah lalu dapat sertifikat, itu hal yang lumrah," tutur Mohsen. 

"Sama seperti seseorang ikut seminar dapat sertifikat, boleh. Tapi, bukan berarti yang tidak punya sertifikat lalu tidak boleh nikah, tidak. Tetap boleh," kata dia.

Mohsen memastikan, tujuan utamanya kelak justru untuk menciptakan kebutuhan dari pasangan yang akan nikah. Bahwa, sebelum menikah mereka harus membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman tentang pernikahan, kesehatan reproduksi, manajemen rumah tangga, dan seterusnya.

"Jadi sekali lagi, sertifikasi itu bukan menjadi syarat utama. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana negara hadir dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan bagaimana membangun rumah tangga yang bahagia dan sentosa," ujarnya. (art)

Baca Juga

Tahapan Sertifikasi Pernikahan

Kursus Dulu Menikah Kemudian

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya