- AP Photo/Eugene Hoshiko
VIVAnews--Keiji Nagashima setengah memicingkan mata. Dia menatap tajam kehijauan lahan miliknya, di Prefektur Ibaraki, Jepang. Keningnya berkerut. Selepas mata memandang, ada 180 ribu batang bayam siap panen di lahan itu. Tapi, semuanya kini terancam musnah.
Ledakan PLTN Fukushima Daiichi, akibat gempa dan tsunami 11 Maret lalu, menjadi awal mimpi buruk. Zat radioaktif keluar bersamaan ledakan itu menyebar di udara, mengalir bersama air, menyusup ke tanah, dan menempel di tetumbuhan.
Zat radioaktif itu mendarat di Ibaraki, sekitar 100 kilometer dari PLTN. Zat itu mencemari puluhan hektar lahan pertanian, pemasok utama bayam di Tokyo. Uji sampel menunjukkan, bayam terkontaminasi zat radioaktif melebihi ambang batas aman yang disyaratkan untuk bahan pangan.
Di lahan Nagasima, radioaktif itu juga menyebar. Lelaki itu harus tunduk pada kebijakan darurat pemerintah. Dia tak boleh mengedarkan bayam. Hasil bumi di lahannya itu dilarang untuk konsumsi. " Akhir semua ini adalah membiarkan bayam-bayam itu layu. Lalu menguburnya," ujarnya.
Meski akan mendapat ganti rugi dari pemerintah, ia khawatir usahanya mati. Ia takut masyarakat berhenti mengkonsumsi bayam dalam waktu lama. "Saya sungguh tak dapat hidup tanpa bayam," kata Nagasima. Dia mewarisi lahan itu dari ayahnya. Sejak itu, seperempat abad sudah dia menjadi petani bayam.
Kekalutan serupa merayap di wajah Tadayoshi Tsugeno, petani bayam di Nihonmatsu, Fukushima. Ia sungguh tak rela memusnahkan tanaman mitsuba yang tumbuh sejak sembilan bulan lalu. Mitsuba adalah tanaman herbal cukup mahal, biasa digunakan untuk taburan makanan di Jepang.
"Sekarang, seharusnya kami menikmati hasil panen. Tapi kami diminta segera memusnahkannya. Saya tak tahu bagaimana menutup biaya tanam jika tak bisa menjualnya. Ini sungguh cobaan berat," kata pria 59 tahun itu.
Demikian pula Satoru Abe, petani buah pir di Fukhusima yang khawatir tak bisa menjual hasil panen Agustus nanti. "Semua petani, saya rasa sedang cemas."