SOROT 199

Nasionalisme, Kunci Sukses Atlit Masa Lalu

Timnas Panahan Indonesia
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVAnews –Kisah medali Indonesia di Olimpiade mengingatkan kita pada tiga srikandi yang berlaga di lapangan memanah Hwarang, Seoul, Korea Selatan pada 1 Oktober 1988. Di kompleks militer itu, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani, bertarung melawan regu panahan putri Amerika Serikat di nomor 70 meter. Kedua kubu berebut medali perak.

Tiga srikandi itu mantap menarik busur. Fokus mereka satu, menancapkan anak panah tepat di papan target. Ini pertandingan ulang yang menegangkan, setelah kedua negara punya skor sama di semi final. Sembilan anak panah itu pun melesat dan menusuk titik sasaran. Indonesia mendapat angka 72. Amerika Serikat 67. Pertarungan enam jam lebih itu, sejak semifinal sampai partai puncak, akhirnya dimenangkan Indonesia.

Saat itu, pertama kali Merah Putih berkibar di podium Olimpiade. Selama 36 tahun sebelumnya, dia hanya mimpi. Ketiga srikandi itu melakukannya dengan baik, dan tentu sebagai hasil latihan keras. Pelatih Donald Pandiangan membentuk mereka sebagai pemanah tangguh. Memang, mereka tak begitu beruntung di nomor perseorangan. Kusuma dan Lilies tersingkir di babak perempat final. Juga Nurfitriyana.

Ketika tampil beregu, baru kekuatan mereka tampak. Amerika Serikat patah. Indonesia berada di urutan ke empat dengan skor 978. Di babak final, ada tujuh kontestan lain: Korea Selatan, AS, Jerman, Barat, Inggris,Uni Sovyet, Swedia dan Prancis.

Di nomor 60 meter, Indonesia melorot ke posisi tiga dengan angka 235 di bawah Uni Sovyet dengan 241 poin. Klimaks membuncah di nomor 70 meter. Di putaran pamungkas ini, Tim Negri Ginseng kokoh di urutan pertama, mengoleksi 243 poin. Indonsia terpental ke peringkat tujuh dengan angka 221.

Namun ada harapan. Kolom di urutan kedua belum terisi. Lalu pertarungan tegang dengan AS pun dimulai, yang berakhir dengan kemenangan Indonesia itu.



Hampir 24 tahun setelah momen membanggakan itu, Nurfitriyana tak lagi memegang busur. Perempuan yang kini berusia 50 tahun itu kini menjadi Kepala Kantor Kas Bank DKI  di Kompleks Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Tapi cerita sukses itu tertancap dalam di benaknya.
 
Saat meraih medali perak, kami sama sekali tidak kaget,” ujarnya kepada VIVAnews. Sebab, kata Nurfitriyana, sebelum tampil di Olimpiade mereka telah berlatih keras, dan medali itu adalah buahnya. Apalagi, sebelum ke Olimpiade, Nurfiriyana langganan medali di even tingkat Asia Tenggara. Pada SEA Games 1981, dia menyabet emas. Donald Pandiangan, sang pelatih itu, juga mengirimnya try-out ke pelbagai negara Eropa.

Berbekal pengalaman itu dia yakin Indonesia bisa juara di tingkat dunia. “Alhamdullilah, kami diberikan jalan,” ujarnya. Tentu Donald menggodok mereka dengan keras. Program latihannya menguras tenaga. Dan, itu memberikan pelajaran penting: tak ada suses yang instan.

Semangat nasionalisme juga ditanam. Nurfitriyana dan rekan-rekannya dulu kerap didoktrin pentingnya jiwa nasionalisme di arena pertandingan. “Zaman saya dulu, murni karena Merah Putih,” ujarnya. Mereka digembleng ketat, terutama mental agar jangan sampai kalah di Asia Tenggara.

Itu sebabnya, perempuan yang lahir 7 Maret 1962 ini tidak bisa menyalahkan menurunnya prestasi olahraga Indonesia di pentas dunia belakangan ini. Menurut dia, para atlit mesti tegas apa yang sebenarnya mereka inginkan. “Prestasi, nama, atau bonus?”, ujar Nurfitriyana yang tampil di tiga Olimpiade, 1988, 1992, dan 1996 itu.

Dia menekankan, yang penting ditanam adalah semangat bela negara, bukan sekadar bonus. Dia juga tak bermaksud membandingkan apa yang pernah dicapainya.  “Zamannya sudah berbeda,” ucap Nurfitriyana, yang sulit mengingat berapa gelar juara yang disabetnya selama hampir tiga dekade di olahraga panahan.



Berbeda dengan Nurfitriyana, rekan satu timnya di Olimpiade 1988, Kusuma Wardhani agak kaget dulu bisa mengambil medali perak. Soalnya, saat itu, kontingen Indonesia mengikuti upacara Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober di Kedutaan Besar. Mungkin karena kesibukan ritual itu, para atlit panahan kurang mendapat perhatian. “Tapi akhirnya kami bangga,” ujar Kusuma.

Perempuan 48 tahun itu kini pegawai di kantor Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Mendapat medali di Olimpiade, kata dia, adalah kebahagiaan tak terlukiskan.  Dia sependapat dengan Nurfitriyana, sukses tak gampang diarih tanpa latihan keras bak pesilat di kuil Shaolin. “Tapi terpenting mental bertanding.”

Menurut dia, spirit bertanding memiliki porsi 70 persen dari sebuah sukses. “Sisanya teknik,” ujarnya menambahkan. Jika teknik sudah memadai, otomatis mental juara sudah terbentuk. Atlet di generasinya, selalu mengedepankan Merah Putih.

Dia merasa semangat itu kini berubah. “Kegagalan Indonesia belakangan ini mungkin dipengaruhi uang. Motivasinya lain,” ujarnya. Kata Kusuma, sebaiknya pemrintah jangan lagi menjanjikan bonus, meskipun itu sah saja. Tapi dia khawatir justru bonus membuat konsentrasi atlet terpecah. “Orientasinya bisa lain nantinya,” ujar Kusuma yang kini mengasuh tim panahan kontingen Sulsel PON 2012.



Lilies Handayani, salah satu anggota tim panahan putri Olimpiade Seoul 1988 itu melihat soal kepercayaan diri berperan penting. Dia merasa, turun di nomor beregu membuat beban target terasa lebih ringan. “Memang, bukan perkara mudah meraih medali di Olimpiade,” kata Lilies yang kini melatih atlet junior, Pelatnas Prima Pratama itu.

Namun, semangat kesatuan bersama Nurfitriyana dan Kusuma Wardhani membuat Indonesia bisa mengalahkan salah satu tim yang disegani: Amerika Serikat. “Kami saling mendukung satu sama lain,” ujar Lilies. Bahkan berpikir positif, jika kalah pun, kata Lilies, mereka masih dapat perunggu.

Perunggu adalah target yang ditetapkan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). “Jadi, kami tidak ngoyo. Bermain pun lepas,” kata Lilies.

Lantas apa masalahnya bagi atlet kita saat ini? Lilies menyinggung soal dana dan minimnya program pembinaan yang berkesinambungan menjadi sebab seretnya prestasi atlet Indonesia di panggung dunia. Dia kini mempersiapkan tim panahan untuk PON 2012 ini,  termasuk melatih tiga anaknya terjun ke panahan di even nasional itu.

Dia mengatakan program pembinaan bagi atlet kerap tak jelas. “Mau di bawa ke mana program atlet tidak jelas. Tidak bisa terputus begitu saja,” ujar dia. Misalnya, jika menargetkan medali, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi alat-alat panahan itu mahal. Aspek lain adalah memupuk jiwa nasionalisme bagi atlit.



Sepenggal kisah sukses perjalanan Indonesia di Olimpiade memang tidak lepas dari kerja keras.  Sebelum bertarung di Seoul, Nurfitriyana, Lilies, dan Kusuma sudah dipersiapkan selama lima tahun sebelum ambil bagian di Olimpiade oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan PB Perpani. Langkah mereka mempersiapkan Kontingen Olimpiade  jauh hari terbukti  efektif dan mengenai sasaran.

Praktis, ketiganya memiliki waktu persiapan panjang. Jelang Olimpiade, Lilies misalnya, mengikuti try-out ke Eropa serta masuk pelatnas mengikuti jadwal pertandingan yang diikuti. Pelatnas khusus untuk Olimpiade pun berlangsung delapan bulan. 

Tiga bulan sebelum pesta olahraga termegah di dunia itu, tim panahan Indonesia mendapat kesempatan berujicoba dan uji tanding di Eropa. Nurfitriyana, Lilies, dan Kusuma sempat menjajal kejuaraan di benua biru seperti Belanda, Rusia, Swiss dan Jerman.

Bahkan di Jerman, Lilies berhasil menempati peringkat satu. Dia menunjukkan potensi diri menjadi terbaik di antara atlet panahan Eropa. “Jadi sebelum ke Olimpiade, saya sudah memiliki gambaran. Jika kami tidak mendapatkan informasi soal lawan, percuma. Namun, jika telah mengetahui, kami tinggal meningkatkan kepercayaan diri saja.”

Boleh dibilang, prestasi tim panahan Indonesia dimulai pada SEA Games 1985 silam di Thailand. Saat itu, Indonesia berhasil menyabet 16 emas, 10 perak dan 6 perunggu. Di bandingkan SEA Games 1983, Indonesia hanya meraih 8 emas, 9 perak, dan 8 perunggu.

Bahkan, di tahun 1987, Indonesia mendulang 10 emas, 10 perak dan 4 perunggu. Setelah itu, prestasi Indonesia terus menurun. Dalam SEA Games 2009, hanya  Novia Nuraini dan  I Nyoman Gusti Puruhito yang berhasil menyumbangkan emas bagi Indonesia. Sementara di Olimpiade, sejak kisah sukses 1988 itu, Indonesia belum lagi mampu menelurkan prestasinya.

Hawaiki Nui 1, 'Penyambung Lidah' Data Center Indonesia dan 3 Negara
Busworld Southeast Asia 2024

Indonesia Gelar Pameran Bus Terbesar di Asia Tenggara

ada pameran bus bergengsi se-Asia Tenggara bernama Busworld Southeast Asia 2024 yang resmi dibuka hari ini, di JIEXpo Kemayoran, Jakarta.

img_title
VIVA.co.id
15 Mei 2024