Belajar Toleransi dari Kampung

- VIVAnews/Ochi April
Tak hanya dari sisi pengerjaan. Kerukunan dan kebersamaan juga tampak dari bahan bangunan yang digunakan untuk membangun pos ronda. Hampir semua material dan bahan bangunan merupakan swadaya masyarakat.
Misalnya, kayu berasal dari gereja Paroki Somohitan. Sementara, genteng merupakan sumbangan dari warga desa yang beragam Islam.
Merawat Keberagaman
Warga Desa Girikerto memang dikenal toleran. Desa yang dihuni sekitar 2.670 kepala keluarga (KK) ini saling menghormati dan menjaga toleransi.
Penduduk yang memeluk agama Islam masih dominan di desa ini, disusul Katolik, Kristen, aliran kepercayaan Saptodharmo dan Hindu. Di desa sentra salak pondoh ini ada gereja yang cukup besar, yakni Gereja Santo Yohanes Rasul Somohitan. Tak jauh dari gereja tampak berdiri kokoh Masjid Al huda.
Romo Suyatno Hadiatmojo, pastur yang pernah memimpin Paroki Somohitan mengatakan, warga Desa Girikerto memang selalu hidup rukun dan tak pernah mempersoalkan agama dan keyakinan orang lain. Contohnya seperti dalam pembangunan gardu ronda.
Saat bekerja, tak ada lagi sekat dan pembeda. Semua warga berkumpul dan bekerja, tak ada yang membawa atribut agama.
“Baik Kristen, Katolik, Muhammadiyah, NU semua kerja bareng. Mereka tak pernah repot dengan perbedaan agama,” ujar pria paruh baya yang biasa disapa Romo Yatno ini kepada VIVAnews, Selasa 11 November 2014.
Membangun gardu ronda hanya salah satu bukti kuatnya kerukunan dan semangat toleransi antarwarga. Romo Yatno menjelaskan, saat masih bertugas di Girikerto, ia bersama warga sempat membangun empat jembatan.
Menurut dia, jika dirupiahkan pembangunan fasilitas umum itu bisa mencapai Rp1,4 milyar. Namun, warga bahu membahu, bekerjasama membangun secara swadaya. Dan itu bisa terwujud karena semangat kebersamaan antarwarga.
“Jembatan ini tidak punya agama. Jembatan berguna untuk umum, bukan hanya orang Islam yang boleh lewat. Kristen, Katolik, Hindu, Budha boleh lewat,” ujarnya menambahkan.